Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2022

Puisi: Gurauan Malam

  Gurauan Malam - Oleh Ahmad Soleh aku bergurau pada hidup biar mengalir bagai air biar mengarus dalam arus sampai terbentur dinding sungai mati dihempas air terjun aku berdialog dengan hidup ingin menguap dan ke langit tapi di bumi pun aku masih harus berdendang senandung tentang ketidakpastian antara benar dan salah putih, hitam, abu-abu jangan ingkari hati nurani sebab celaka jika terjadi sampai musnah dilahap gelap hilang diterkam malam tapi hidup hanya gurauan.

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere

Puisi: Pejuang Sejati

Pejuang Sejati - Oleh Ahmad Soleh : Untuk Randi Randi, kutahu kau rindu keadilan napasmu getar menderu, seiring teriak lantangmu langkahmu masih terasa menderap belum gentar, belum usai perjuangan kau ada di baris terdepan menyuarakan kebenaran melawan ketertindasan melawan ketidakadilan yang lahir dari para pemangku kebijakan di saat yang lain sibuk kuliah kau bilang, “rakyat butuh nalar kritis kita untuk melawan!” kata-katamu begitu propagandis sejalan dengan perbuatanmu di lapangan yang begitu riuh kau berjibaku, bentrok tak bisa dihindari aparat tak henti menembakkan gas air mata tapi tak ciut nyalimu aparat dengan lekas melesakkan besi panas yang kemudian bersarang di dada kananmu layaknya lencana yang disemat penanda bahwa kau seorang pejuang kader militan sejati yang purna tunaikan tugas cendekiawan bepribadi sejarah telah mencatatmu sebagai pejuang kepentingan rakyat izinkan kami menjadi dirimu teruskan perjuanganmu hingga usai. Depok, 27 September 2019

Esai: Menegakkan Bahasa Indonesia secara Kafah

Menegakkan Bahasa Indonesia secara Kafah - Oleh Ahmad Soleh Dipikir-pikir, bagaimana mungkin bisa berbahasa Indonesia secara kaffah , jika kaffah sendiri merupakan bahasa Arab. Dus, dalam kamus kita diserap jadi kafah, dengan satu f. Apa artinya kaffah atau kafah? Saya mengutip KBBI, kafah memiliki dua makna, yakni sempurna dan keseluruhan. Sempurna sebagai adjektiva (kata sifat), keseluruhan sebagai nomina (kata benda). Jadi, tak heran jika kita menemukan kata kafah bersanding dengan kata atau frasa lain, seperti judul tulisan ini; Berbahasa Indonesia Secara Kafah ( Kaffah ). Meski, sebenarnya lebih sering digunakan sebagai istilah agama Islam; berislam secara kafah, menegakkan Islam secara kafah, dst. Semangat menegakkan bahasa Indonesia secara kafah—selanjutnya saya akan mengikuti KBBI, secara menyeluruh, sebenarnya telah dimulai sejak lama. Kalau saya tak salah sejak zaman Presiden Soeharto. Waktu itu saya masih duduk di bangku SD. Ingat betul, semua nama ruko dan perumahan elite

Puisi: Apa yang Dikabarkan Seniman

Apa yang Dikabarkan Seniman - Oleh Ahmad Soleh Seorang seniman menggambarkan keadaan menceritakan warna-warni serupa suasana semisal sukacita dan canda tawa seorang seniman melukis masa depan menceritakan lika-liku serupa perjalanan duka lara resah gelisah rintih sedih seorang seniman lagi lepas dari ruang dan waktu menggambarkan apa saja yang terlintas lewat kuasnya terciptalah sebuah pamflet yang sarat imajinasi bertaut dalam raut bersirat dalam coretan seorang seniman pernah berpesan “untuk apa renda-renda kesenian, jika terlepas dari persoalan kehidupan” lalu apa yang dikabarkan seorang seniman? seni bukan sekadar untuk seni tapi kesadaran diri menerobos imaji kehidupan menciptakan perubahan. 9 Juli 2019

Esai: Risalah Persatuan Indonesia

Risalah Persatuan Indonesia - Oleh Ahmad Soleh Buku Mempersatukan Indonesia: Risalah Ikatan untuk Persatuan Bangsa yang diinisiasi Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan DPP IMM menjadi salah satu catatan penting untuk meneguhkan kembali persatuan pelbagai elemen bangsa, utamanya di tataran masysarakat. Karena bangsa yang kuat akan tercipta ketika masyarakatnya kuat dan kokoh, baik secara ideologis, budaya, maupun ekonomi. Komitmen nyata untuk menjaga persatuan, nilai-nilai Pancasila, NKRI, dan semangat gotong royong menjadi pilar penting untuk menunjang kehidupan bangsa yang maju dan beradab. Tema “Mempersatukan Indonesia” yang diangkat dalam rakornas IMM di Pekanbaru, Riau, beberapa waktu lalu, menjadi refleksi besar bagi semua elemen bangsa, para elite, pejabat publik, stakeholder, dan kaum mudanya. Terlebih, kita baru saja usai dari hiruk pikuk pesta demokrasi yang menguras sebagian besar energi dan fokus kita. Namun, “Penghayatan dan pengamalan Pancasila rupanya mulai terkikis dar

Puisi: Jika Cinta Itu Agama

Jika Cinta Itu Agama - Oleh Ahmad Soleh Jika cinta itu agama apa kita juga akan sibuk mendakwahkan ajaran cinta? apa kita juga akan sibuk mengeja bahasa-bahasa cinta dan mengaji kitab cinta? atau justru sebaliknya? jika cinta itu agama apa kita juga akan sibuk membela dan menegakkan cinta secara kaffah membuat ormas-ormas: Nahdlatul Cinta, Front Pembela Cinta, Muhabbahiyah, Persatuan Umat Cinta, dst kemudian ribut, berebut siapa yang gerakan cintanya paling mencerminkan ajaran cinta jika cinta itu agama akankah ia seperti alunan biola yang syahdu dan melenakan jika cinta itu agama apakah ia akan menjadi candu yang membuat kita sibuk ibadah melulu jika cinta itu agama sanggupkah kita mengamalkan ajarannya? amar cinta nahyi benci apakah kita sanggup menahan amarah dan kebencian yang itu akan melunturkan amalan-amalan agama cinta? apakah kita mampu hidup sepenuhnya untuk mencintai sesama makhluk? apakah kita bisa mencintai, bahkan kepada orang yang membuat kesalahan terhadap kita? apakah

Esai: Bahasa, Kesantunan, dan Kompleksitasnya

Bahasa, Kesantunan, dan Kompleksitasnya - Oleh: Ahmad Soleh Bahasa merupakan sebuah ruang besar, semesta, sebuah kehidupan. Di sana terdapat banyak kehidupan; kehidupan manusia, kehidupan kata-kata, kehidupan makna, tanda baca, dan sebagainya. Manusia dan bahasa memiliki hubungan yang sangat erat. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa ada bahasa. Sebab, tanpa ada bahasa manusia tidak akan bisa mengekspresikan apa yang dia inginkan, apa yang dia rasakan, dan apa yang diharapkan. Dengan bahasa, manusia bisa saling berinteraksi satu sama lain. Dengan bahasa, manusia bisa merasakan kehadiran orang lain di dalam hidupnya, bisa merasakan kehidupan, dan merasakan fungsi sosial di lingkungan sekitarnya. Bahasa sangat identik dengan kata-kata. Kata adalah satuan bahasa terkecil yang memiliki makna. Makna tersebut muncul dari proses berbahasa, yakni kata-kata yang terangkai secara terstruktur dan memiliki konteks. Nah, dengan bahasa kemudian kita bisa memahami berbagai hal, mulai dari yang paling

Puisi: Tanya Jawab Bapak dan Anak

Tanya Jawab Bapak dan Anak - Oleh Ahmad Soleh 1/ Ada bapak bertanya pada anaknya: “Nak, buat apa mainan sebanyak itu? Toh, yang main bapak. Kamu cuma suka belinya saja.” 2/ Ada bapak bertanya pada anaknya: “Nak, kamu masih mau beli mainan lagi? Yang keluar uang kan bapak, bukan kamu. Nanti ibumu marah, beli mainan terus.” 3/ Ada bapak bertanya lagi pada anaknya: “Nak, sudahkah kamu bahagia? Bapak sudah belikan banyak mainan. Tak peduli ibumu cerewet, bapak mau Beli mainan buat main lagi.” 4/ Ada bapak bertanya terus pada anaknya: “Nak, mau sampai kapan main dengan gawai itu? Bapak sudah belikan mainan baru. Ayo main sama bapak.” 5/ Ada bapak bertanya pada anaknya. Anaknya menjawab: “Aku mau main setiap waktu, tapi setiap hari Bapak kerja. Bapak sibuk cari uang untuk beli mainan yang akhirnya Bapak sendiri yang mainkan saat hari libur tiba. Lalu Bapak kesal sendiri, kan, tak ada teman main.” 6/ Ada bapak bertanya pada anaknya. Anaknya balik tanya: “Pak, bisakah Bapak pakai uang itu untu

Esai: Idul Fitri dan Duka Palestina

Idul Fitri dan Duka Palestina – Oleh Ahmad Soleh Mengawali tahun 2021 terasa sangat berat dan melelahkan. Padahal, belum juga setengah perjalanan kita mengarungi tahun ini. Betapa tidak? Pada awal tahun, negeri ini dilanda berbagai bencana alam, tragedi pesawat jatuh, dan terakhir peristiwa tenggelamnya Kapal Selam KRI Nanggala-402. Deretan peristiwa duka tersebut terasa begitu cepat dan bertubi-tubi. Belum lagi, wabah Covid-19 yang belum juga usai dan kita masih harus berupaya agar segala cobaan ini dapat dilalui dengan baik. Terkadang, batin kita merasa seperti ingin menghela napas panjang dan beristirahat yang lama. Sambil membayangkan ketika kita terbangun nanti, keadaan sudah kembali baik dan normal. Sayangnya, hal itu hanya bisa terjadi dalam mimpi dan angan kita. Sementara kita harus tetap menegakkan kepala dan menguatkan pundak untuk menghadapi kenyataan ini. Hadirnya bulan Ramadhan 1442 H sebenarnya menjadi salah satu pelepas dahaga batin di tengah suasana yang tak menentu in

Puisi: Sore yang Tampak di Wajah Bapak

Sore yang Tampak di Wajah Bapak - Oleh Ahmad Soleh Sore itu, langit menguning, tepatnya nuansa oranye agak gelap. Ia berjalan menuntun anaknya yang baru menyudahi pertandingan sepak bola. Pertandingan yang digelar di lapangan belakang kampungnya. Seorang bapak ber- jersey Newcastle tampak gembira, sedang anaknya tampak tak bergairah karena baru saja kalah. “Tak apa, itu kan hanya laga persahabatan. Menang atau kalah, kamu tetap penyerang terbaik buat ayah,” ujar sang bapak. Perlahan wajah anak lelaki berkostum Persija itu mulai tegap, langkahnya masih tergopoh, “Iya pak, janji besok aku pasti menang.” Sang bapak menatap wajah anaknya yang terlihat mulai cerah. Azan maghrib pun berkumandang. 2022 *Puisi ini pernah tayang di Qureta.com

Esai: September Luka

September Luka - Oleh Ahmad Soleh “Orang-orang harus dibangunkan aku bernyanyi, menjadi saksi.” – WS Rendra, “Kesaksian” SEPTEMBER menjadi bulan yang begitu memprihatinkan bagi bangsa kita. Bulan ini menyimpan, mencatat, dan menjadi latar waktu terjadinya kejadian-kejadian yang memilukan berkaitan dengan kondisi kebangsaan demokrasi dan juga kondisi sosial-politik kita yang semakin kacau balau dewasa ini. Kalau kita bicara soal kemerdekaan berpendapat, berekspresi, kebebasan menyuarakan kegelisahan, tentu September menjadi bulan yang patut kita kabungkan. Sebab, pada bulan ini, tepatnya pada 26 September 2019, dua aktivis mahasiswa bernama Immawan Randi dan Yusuf Qardhawi meninggal akibat serangan brutal aparat kepolisian. Keduanya merupakan aktivis mahasiswa di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara. Mereka menjadi peserta aksi menolak revisi UU KPK. Revisi UU KPK dinilai akan melemahkan peran dan fungsi KPK. Aksi tersebut merupakan respons terhadap potensi pelemahan

Puisi: Sepuluh Tahun yang Lalu

Sepuluh Tahun yang Lalu - Oleh Ahmad Soleh Kukenali kulit paling luarmu Lewat kerut dahi dan bibir yang meledakkan senyum semua tampak begitu istimewa kau jajakan obrolan hangat di meja juga di pesan singkat berseling kabar dan haha-hehe semua berkesan begitu istimewa kini, sudah sepuluh tahun tak ada obrolan hangat atau pesan singkat semua sudah disikat sejak kita sama-sama berangkat. 2021

Esai: Sastra Jungkir Balik Budi Darma

Sastra Jungkir Balik Budi Darma - Oleh Ahmad Soleh Barangkali saya bukan orang yang cukup mumpuni untuk bicara atau menulis sosok (alm) Budi Darma secara personal. Selain karena tidak pernah berinteraksi langsung dengan beliau, saya juga belum pernah sekali pun bertemu dengan beliau, apalagi kuliah atau bimbingan dengan beliau. Namun, jangan salah, entah kenapa dan bagaimana, nama Budi Darma selalu mengiang di kepala saya bila bicara soal sastra Indonesia. Saya pun tak tahu pasti mengapa ada perasaan demikian dalam diri saya. Semacam ada energi besar yang terus menarik saya untuk membaca sosok Budi Darma—lewat karya-karyanya. Sebagai penikmat sastra, saya mengenal Budi Darma lewat Orang-Orang Bloomington . Belakangan, saya baru tahu bahwa ia menulis novel itu dari pengalamannya ketika berada di Bloomington. Di sana ia begadang, berjalan-jalan, mengamati keadaan, mengamati dan berinteraksi dengan orang-orangnya, lalu menulisnya. Sebuah tradisi kepengarangan yang mungkin juga dialami seb

Puisi: Membaca Surat

Membaca Surat - Oleh Ahmad Soleh Pagi tadi kubuka lagi surat itu Kubaca satu demi satu pesan singkat Pada sebuah ponsel pintar Kau kirimkan sejumlah pesan Aku tak bisa membacanya Karena hari Minggu aku sibuk Sibuk mengubur segala bentuk Pada surat yang kau kirimkan Bentuk itu melebur remuk Larut dalam pekat Dan kita telah lama bersekat. 2021

Esai: Adabul Sosmediyah

Adabul Sosmediyah - Oleh Ahmad Soleh “Di zaman informasi terbuka ini, kita perlu berpikir cerdas untuk bisa membedakan mana pendapat ahli dan mana kata orang-orang yang ahli berpendapat.” Hidup di zaman informasi terbuka seperti sekarang ini, ada sisi positif dan negatifnya. Positifnya, kita bisa belajar dan mengakses informasi dengan mudah kapan dan di mana saja. Juga, kita bisa terhubung dengan siapa saja tanpa ada sekat teritorial negara ataupun letak geografis suatu daerah. Misalnya, kita saat ini berpijak di Pulau Jawa, tapi kapan saja bisa melihat Amerika atau Korea dengan berselancar di internet, medsos, atau Youtube. Dari sisi-sisi kebudayaan, kita juga jadi lebih mudah mempelajari, menerima, dan mengadopsi budaya asing dengan proses akulturasi. Tanpa tercerabut dari budaya sendiri. Begitu juga dalam penguasaan bahasa asing, kita lebih mudah belajar dengan riang gembira dengan menyaksikan produk-produk kesenian dari berbagai penjuru dunia dengan mudah. Perlahan hal itu juga bis

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021

Esai: Modernisasi Agama

Modernisasi Agama - Oleh  Ahmad Soleh Agama adalah salah satu bagian yang amat lekat dan tak bisa dilepaskan dengan kehidupan manusia. Sebagian besar manusia yang hidup di dunia ini memiliki keyakinan (iman) dan mengikatkan diri pada sebuah sistem kepercayaan bernama agama. Sebagaimana kita tahu, agama hadir untuk mengatur pola hidup umat manusia agar teratur dan terarah sesuai dengan tuntunan ajaran Tuhan. Agama juga menjadi pedoman umatnya dalam menjalani, menyikapi, dan memandang sebuah realitas. Dengan begitu, agama tidak cuma menjadi kepercayaan, tapi juga menjadi world view. Di Indonesia, kita mengenal ada beberapa agama (resmi), seperti Islam yang jumlahnya mayoritas, Kristen (Katolik dan Protestan), Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu (aliran kepercayaan Confusius). Artinya, bangsa ini sebenarnya kaya akan nilai-nilai luhur agama dan spirit suci ketuhanan. Tapi mengapa kita masih banyak melihat banyak kemungkaran terjadi? Ironisnya lagi, terkadang kemungkaran itu justru dilakukan den

Puisi: Kita dan Jendela

Kita dan Jendela - Oleh Ahmad Soleh Ada kisah biasa-biasa saja antara aku, kau, dan jendela itu. Suatu waktu pernah kau melewatinya tanpa menghiraukanku. Aku memandangi langkah kakimu. Waktu pelan-pelan rasanya ingin kuhentikan saja. Tapi, ini bukan dongeng sihir atau film fiksi yang menggelikan. Jendela yang menyekat kita begitu jauh. Rasanya, dinding-dinding yang berjajar rapi di antaranya tampak biasa saja. Tak membuatku risau. Berbeda dengan jendela itu. Jendela yang saban pagi membawa bayanganmu melintas di pikiranku. Jendela yang saban waktu menyuguhkanku senyum dan tawa yang tak bisa kubawa pulang. Esok hari, sebelum kau lewat lagi, akan kugelar kain tebal untuk menutup jendela itu. Warnanya hitam pekat. Bahkan, bayanganmu pun tak akan mampu menembusnya. Dan benar saja, aku kehilangan. Kehilangan jendela itu. 2021

Esai: Dakwah, Mengembara Tanpa Kenal Lelah

  Dakwah, Mengembara Tanpa Kenal Lelah - Oleh Ahmad Soleh Prolog untuk buku Pengembara Dakwah Dalam sebuah diskusi yang hangat, waktu itu tengah membedah buku Wajah Islam Kita (Pustaka Sedayu: 2020), moderator menyampaikan pengantar yang cukup memantik bagi para peserta diskusi malam itu. Satu hal yang ia sorot dari buku berisi esai-esai saya itu adalah mengenai wajah umat Islam yang gampang marah, ngambekan , sumbu pendek (gampang meleduk), dan gampang terprovokasi oleh narasi negatif di media sosial. Barangkali kondisi semacam ini bukan cuma menjadi keresahan moderator seorang. Karena dalam buku itu pun memang saya membahas, dalam satu esai berjudul “Kang Musliminkah Kita?”, misalnya. Esai itu saya tulis setelah membaca cerita yang diungkapkan Gus Mus (KH Ahmad Musthofa Bisri) dalam bukunya Saleh Ritual, Saleh Sosial . Singkatnya, dalam esai itu terdapat sindiran mengenai umat Muslim yang gampang marah karena mengedepankan rasa cemburunya. Digambarkan Gus Mus dengan karakter Kang Mus