Langsung ke konten utama

Esai: Adabul Sosmediyah


Adabul Sosmediyah - Oleh Ahmad Soleh

“Di zaman informasi terbuka ini, kita perlu berpikir cerdas untuk bisa membedakan mana pendapat ahli dan mana kata orang-orang yang ahli berpendapat.”

Hidup di zaman informasi terbuka seperti sekarang ini, ada sisi positif dan negatifnya. Positifnya, kita bisa belajar dan mengakses informasi dengan mudah kapan dan di mana saja. Juga, kita bisa terhubung dengan siapa saja tanpa ada sekat teritorial negara ataupun letak geografis suatu daerah. Misalnya, kita saat ini berpijak di Pulau Jawa, tapi kapan saja bisa melihat Amerika atau Korea dengan berselancar di internet, medsos, atau Youtube.

Dari sisi-sisi kebudayaan, kita juga jadi lebih mudah mempelajari, menerima, dan mengadopsi budaya asing dengan proses akulturasi. Tanpa tercerabut dari budaya sendiri. Begitu juga dalam penguasaan bahasa asing, kita lebih mudah belajar dengan riang gembira dengan menyaksikan produk-produk kesenian dari berbagai penjuru dunia dengan mudah. Perlahan hal itu juga bisa memacu hasrat untuk berkreasi dan berkompetisi dalam berkarya.

Sisi negatifnya, era keterbukaan informasi di mana kerap terjadi tsunami informasi ini, kita dibuat limbung. Limbung karena kita jadi sulit mendeteksi mana yang benar dan mana yang kabar burung. Mana informasi valid dan mana yang rekaan. Hal itu menyebabkan banyak kerugian.

Pertama, kita tersesat dalam rimba informasi yang bias. Kedua, kita jadi makin mudah merasa puas dan lebih pintar dari yang lain, ini bisa mematikan minat belajar kita. Ketiga, ketika kita terjebak dalam algoritma informasi yang disruptif, kita akan cenderung memakai kacamata kuda dan menganggap perbedaan pendapat sebagai suatu ancaman. Ujungnya, kita mudah marah dan gampang memusuhi orang lain yang beda pendapat.

Maka, menghadapi kenyataan yang begitu rupa kita mesti jadi manusia cerdas. Di antaranya dengan memiliki pola berpikir kritis dan reflektif, serta bijaksana. Manusia cerdas di era informasi terbuka bisa kita ibaratkan seperti mesin pemindai.

Cara kerja mesin pemindai, tidak buru-buru mengambil capture, melainkan mencari fokus objek lebih dulu. Seperti itulah kita semestinya. Ketika mendapat informasi, kita mesti memindai lebih dulu, mana fakta dan datanya valid atau tidak, benar atau bohong, rekaan atau nyata, dan sebagainya. Baru kemudian mengambil kesimpulan.

Ketika kita mudah mengambil kesimpulan, misalnya ketika membaca berita, baru membaca judulnya saja sudah share tautannya ke mana-mana. Tanpa mendeteksi apakah isinya sesuai dengan judul atau tidak. Apakah hoaks atau bukan.

Kelalaian ini kerap terjadi. Sehingga kabar bohong dengan mudah tersebar dari satu grup Wasap ke grup lain, dari beranda Fesbuk ke beranda Instagram, dan sebagainya. Hingga akhirnya mata rantai kabar bohong sulit dicari ujung pangkalnya.

Sebagai kaum milenial, sejatinya kita bisa menjadi penyaring informasi. Dengan bekal ilmu, adabul sosmediyah, dan penerapan kaidah fikih informasi dalam kehidupan bernetizen, kita bisa memberikan manfaat bagi yang lainnya. Dunia informasi yang kian terbuka jangan sampai menutup hati kita akan kebenaran. Jangan sampai kita malah menjadi bagian dari penyebar kabar bohong yang memecah belah hidup manusia.

Sebagai catatan akhir, sebagai Muslim milenial, kita diajarkan untuk bisa memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk menebarkan kebajikan. Bila dakwah itu mengajak, maka kita mesti belajar bagaimana membuat konten-konten persuasif untuk mengajak pada kebaikan. Dan bila dakwah itu dengan menjadi uswah, maka kita mesti memberi contoh yang baik bagaimana menerapkan adabul sosmediyah dalam kehidupan bernetizen kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021