Langsung ke konten utama

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir


Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh[1]

Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban (Diomedia, 2021)

TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita.

Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mereka bisa membeli tayangan yang dimau dan memilih tidak menonton tayangan yang tidak sesuai selera. Tayangan televisi sudah betul-betul menjelma komoditas yang tentu punya komunitas dan “kelas” sosial tertentu sebagai penikmatnya.

Di tengah kemajuan itu, bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah? Masyarakat “pas-pasan” yang tak mampu membeli jaringan televisi seperti mereka yang berkecukupan itu. Ya, masyarakat dengan kantong pas-pasan tetap menikmati tayangan-tayangan dari stasiun televisi komersial. Tidak bisa memilih tontonan. Artinya, kuasa untuk menghalau atau memfilter tontonan yang tidak sesuai dengan norma dan budaya masyarakat sepenuhnya ada di tangan para pemilik stasiun televisi beserta tim kreatifnya. Satu-satunya pilihan adalah terus menonton atau matikan televisi.

Politisasi-Komersialisasi: Budaya Membentuk dan Dibentuk


Hal seperti dipaparkan di atas terjadi lantaran adanya politisasi dan komersialisasi budaya. Di Indonesia, kedua hal ini pernah terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru kemudian berlanjut ke masa Reformasi (atau sekarang pun masih?). Kuntowijoyo[2] mengungkapkan, politisasi budaya terjadi dan dirasakan karena peran penguasa yang hendak menguasai rakyat dengan otoriter. Politisasi gaya Orla dan Orba, yaitu ‘memburu hantu’, personal cult (kultus pribadi), dan brain washing (cuci otak). Praktik ‘memburu hantu’ dimanifestasikan dengan memerangi atau menganggap semua orang yang berbeda pandangan atau kubu politik sebagai musuh yang perlu dihabisi. Kemudian kultus pribadi, pada zaman Orla dan Orba, seolah bangsa ini hanya ada satu pemimpin, Sukarno (Orla) dan Soeharto (Orba). Dalam pandangan Kuntowijoyo, hal ini disebabkan politisasi budaya Jawa ke dalam sistem pemerintahan sehingga presiden layaknya raja-raja Jawa yang memiliki kewenangan absolut atas rakyatnya. Kunto menyebutnya sebagai era mitos, yakni ketika bangsa Indonesia dibayang-bayangi oleh mitos-mitos kesaktian Bung Karno dan kultus Soeharto sebagai bapaknya pembangunan Indonesia.

Selanjutnya, yaitu praktik cuci otak yang digalakkan pemerintah lewat penataran dan bombardir ideologi secara masif dan sistematis kepada rakyat. Misalnya penataran P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila) yang begitu kencang ke lapisan masyarakat, bahkan ormas-ormas dan berbagai kelompok masyarakat wajib menjadikan Pancasila sebagai dasar organisasinya. Penataran P4 itu menurut Kuntowijoyo diilhami oleh bermacam-macam “latihan” pada masa penjajahan Jepang. Jadi, P4 itu salah satu bentuk brain washing untuk rakyat. Hal semacam ini rasanya masih menggejala sampai saat ini, di mana para pengaku “Pancasilais” dengan tidak Pancasilaisnya memusuhi mereka yang dianggap sebagai musuh Pancasila “versi mereka”.

Selain hal yang sifatnya politis seperti di atas, brain washing juga merasuk dalam perjalanan budaya masyarakat kita. Lewat media, musik, tren pakaian, dan film. Misalnya, pada medio 1990-an, masa Orde Baru, banyak media massa memajang berita-berita vulgar dan konten berbau pornografi. Gejala politisasi, kata Kunto, dimanifestasikan dalam vulgarisasi budaya. Sebab itulah, tontonan “dewasa” pada masa itu juga begitu banyak ditayangkan secara bebas di layr-layar lebar, sehingga masyarakat begitu akrab dengan tontonan ‘tak mendidik’ semacam itu. Dari sisi politik, hal itu tentu ada untungnya bagi penguasa. Politisasi budaya digunakan untuk melenakan masyarakat atas apa yang sebetulnya terjadi pasa masa itu. “Para foto model yang terlibat pun dengan berani mengatasnamakan estetika, mengatasnamakan budaya, padahal semua rame-rame itu kembalinya ke pasar,” kata Kuntowijoyo.

Atas nama budaya dan seni para pelaku dan ‘yang berkepentingan’ untuk menyajikan konten seperti demikian. Prof Kunto kemudian melanjutkan, vulgarisasi pers—yang kita masukkan dalam politisasi—juga dapat dikembalikan pada komersialisasi, dengan tujuan utama pasar. Tujuan politisasi budaya, dengan dimasukkan budaya dan tradisi ‘Barat’ itu tentu saja untuk meredam kritik masyarakat, agar pemegang kekuasaan leluasa menggunakan kewenangan dan melanggengkan kekuasannya.

Dalam konteks komersialisasi budaya, masyarakat kita terus disuguhi suatu nilai budaya tertentu yang lewat tontonan di televisi. Namun, disebabkan hal itu laku di “pasar”, jadi diproduksi terus-menerus hingga menjadi “candu” bagi masyarakat yang mengonsumsinya. Bisa kita tengok bagaimana histeria tayangan sinetron, telenovela, drama mandarin pada masa lalu dan pada hari ini ada sinetron dan drakor (drama Korea). Rata-rata, tayangan hiburan di televisi lebih mengedepankan rating dibandingkan substansi pesan dan nilai budayanya. Hal itu disebabkan, kini politisasi budaya tidak lagi—atau tidak hanya—dilakukan penguasa, melainkan oleh masyarakat itu sendiri. Saya rasa hal ini bukan suatu hal yang “kuno” untuk kemballi dibahas karena persoalan kebudayaan dan masyarakat erat kaitannya dengan perjalanan hidup bangsa kita.

Pembodohan dan Dehumanisasi


Dua hal yang kemudian menjadi sorotan Kuntowijoyo dari politisasi-komersialiasasi budaya adalah akibat yang ditimbulkannya. Dalam pandangannya, politisasi-komersialisasi budaya jelas-jelas berakibat buruk bagi masyarakat. Sebab, hal itu mengakibatkan pembodohan dan dehumanisasi. Politisasi pada era Orla dan Orba jelas merupakan sebuah pembodohan terhadap rakyat. Pembodohan itu, kata Kunto, berupa simplifikasi, penyerderhanaan permasalahan. “Pada zaman Orla, simplifikasi itu berupa romantiasasi rakyat dan uniformasi,” ujar Kunto. Kemudian pada masa Orba, pembodohan terletak pada simplifikasi dan manipulasi. Di mana pemerintahan Suharto dengan seenaknya mencomot budaya Jawa dan memanipulasinya untuk menerapkan pemerintahan yang sangat otoriter.

“Pembodohan lain pada zaman Orba adalah penataran P4. Penataran dikerjakan secara sistematis, teratur, dan luas. Akan tetapi, sama dengan indoktrinasi zaman Orla, juga berupa simplifikasi,” ungkap Kunto. Keberadaan Pancasila pada masa itu hanya dijadikan alat politik belaka. Di mana Pancasila menjadi senjata untuk menghabisi lawan dan menindas rakyat. “Bukan Pancasila yang salah, tapi perlakuan terhadapnya yang keliru,” kata Kuntowijoyo.

Selain itu, pasca-tumbangnya Orba, muncul vulgariasasi budaya untuk kepentingan politik sesaat. Hal ini menurut Kunto juga merupakan sebuah pembodohan yang nyata. Sebagaimana komersialisasi budaya yang pada akhirnya menjauhkan masyarakat dari budaya kritis. “Kapan masyarakat akan pandai, kritis, dan mampu membangun masyarakat madani kalau setiap hari disuguhi media porno, televisi penuh adegan kekerasan, dan musik yang cengeng?” katanya. Namun, apa mau dikata, masyarakat tak punya pilihan, komersialisasi membawa euforia dan histeria bagi masyarakat. Perhatian akan budaya-budaya yang dianggap populer, tren, dan “modern” itu membuat masyarakat benar-benar tebelenggu dan “tak berdaya”.

Pembodohan sendiri merupakan bentuk dehumanisasi. Namun, dehumanisasi yang paling nyata terjadi adalah ketika masyarakat kita kehilangan kontrol atas dirinya. Ketika dirinya dikontrol oleh alat bernama kekuasaan dan “negara”. Dengan kata lain, masyarakat kehilangan “kemanusiaannya”, tidak dimanusiakan. Politisasi adalah bentuk nyata dehumanisasi itu, di mana masyarakat hanya dilibatkan sebagai “lumbung suara” tanpa mendengar suaranya ataupun melihat kondisinya di bawah. Komersialisasi telah menyihir kita dalam lubang dehumanisasi. Nahasnya, kita masuk ke lubang itu dengan sukarela, bahkan sebagian besar rela menghabiskan ongkos yang mahal untuk masuk ke lubang itu.

Permasalahan ini merupakan hal yang amat serius. Pasalnya, pada masa sekarang ini gempuran komersialisasi budaya ditambah virus politisasi yang menjalar hampir ke seluruh sendi kehidupan kita, terkadang membuat kita terlena dan henyak dalam kebodohan itu. Apa yang dicatat Prof Kuntowijoyo adalah mozaik kecil yang mesti kita tangkap untuk merangkai puzel persoalan kebudayaan bangsa kita. Seterusnya, lebih luas dan dampak dari kebudayaan adalah peradaban. Sehingga tugas kita untuk membangun masyarakat berkebudayaan tinggi dengan basis moral dan etika yang luhur dan adiluhung.

Bagaimana Sastra Harus Hadir?


Di tengah gempuran krisis budaya semacam ini, bagaimana sastra harus hadir? Mungkin sudah jamak dipahami bahwa karya sastra dewasa ini bukan lagi suatu hal yang populer. Sekalipun populer, tentu saja hanya karya sastra yang terjebak pada persoalan romantisme percintaan dan kecengengan. Meski di dalamnya tentu ada nilai-nilai positif yang bisa kita ambil, kondisi yang demikian bisa membuat mentalitas masyarakat kita kian terpuruk. Puisi, sebagai salah satu karya sastra yang selama ini dikenal membawa banyak dampak dalam perubahan bangsa, kini puisi tak ubahnya curahan hati belaka. Bahkan, stereotip masyarakat kita (sebagian besar) puisi merupakan tulisan cengeng yang tak layak dibaca. Sehingga, peminat puisi begitu minim di negeri ini.

Mursal Esten[3] dalam Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur mengatakan bahwa setiap karya sastra yang dikarang oleh seseorang umumnya membawa kulturnya masing-masing, misalnya nilai-nilai kedaerahan yang dibawanya dari lingkungan. Kultur inilah yang ia sebut sebagai subkultur dari budaya bangsa. “Bagaimanapun, sebagian besar sastrawan Indonesia berasal dari subkultur tertentu, memahaminya lebih dari nilai-nilai lain dari kultur yang manapun,” ujarnya. Untuk menjadikan nilai-nilai dubkultur itu sebagai suatu nilai yang baru, kata dia, diperlukan penghayatan yang baru dan ekspresi yang baru. Selain itu, kita juga memerlukan pemahaman lebih luas terhadap nilai-nilai dari subkultur lain. “Sehingga, suatu pertemuan nilai-nilai berpangkal dari suatu proses saling mengenal dan pemahaman,” ungkap Esten.

Sastra merupakan bagian dari kebudayaan bangsa. Sebab itulah karya sastra akan senantiasa lahir seiring dengan adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perjalanan bangsa. Puisi sebagai bagian penting dalam perkembangan sastra Indonesia, juga selalu lahir dengan karakter, ciri khas, perpektif, dan kreativitas yang baru. Itulah yang disebut Esten sebagai “penghayatan dan ekspresi baru”. Saat ini, Abdul Hadi WM[4] menyebut, tengah terjadi krisis kebudayaan itu. Komersialisasi yang sedari awal kita bahas dalam tulisan ini tentu ada kaitannya dan sangat erat. Bisa kita rasakan hari ini sastra—meski tidak semua karya sastra—lebih merupakan sebuah komoditas atau produk komersial ketimbang sebuah wacana ideologis, filosofis, maupun menawarkan gagasan-gagasan.

Jadi, berkaitan dengan pertanyaan pada subjudul ini, bagaimana sastra harus hadir? Ya, tentu saja sastra mesti hadir dengan napas dan semangat baru yang mengedepankan nalar kritis, peka terhadap realitas, dan mampu memberikan pandangan-pandangan jauh ke depan. Di samping itu, inovasi-inovasi perwujudan karya sastra juga mesti terus dikembangkan. Hari ini kita sudah begitu pelik dengan ragam bentuk sastra, tetapi rasanya itu-itu saja. Hanya sedikit yang mampu menjadi pembeda dan menghadirkan nuansa “tidak biasa”. Kuntowijoyo dengan Maklumat Sastra Profetik-nya menghadirkan sebuah kesadaran baru dalam karya sastra. Yakni dengan menghadirkan kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan sekaligus. Kesadaran ketuhanan di sini tidak melulu dimaknai sastra yang sufistik atau spiritualistik, melainkan sastra yang mengedepankan nilai-nilai ketuhanan dalam berbagai dimensi kehidupan.

Sastra profetik yang diangkat ke permukaan oleh Kuntowijoyo memberikan arah dan wujud nyata bahwa karya sastra mesti setidak-tidaknya memiliki satu dari tiga hal, yakni semangat humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ketiga pilar sastra profetik yang hadir tidak untuk menegaskan sastra sebagai sebuah pancaran spiritual belaka, tetapi lebih dari itu sastra mampu menjadi transformasi sosial yang merekam, menceritakan, dan dengan diam melawan ketidakadilan, penindasan, dan dehumanisasi. Ya, sastra harus hadir memberikan tawaran-tawaran kepada masyarakat yang kering dan krisis kebudayaan. Begitu juga dengan puisi sebagai salah satu produk kesusastraan. Seperti kata Goenawan Mohamad[5], puisi sebagai sebuah peristiwa, artinya dalam puisi itu ada peristiwa dan bahkan peristiwa itu sendiri yang kadang sengaja dibeberkan dengan telanjang atau disembunyikan dalam kata-kata. Namun, memahami puisi sebagai rangkaian kata indah belaka adalah sebuah kekeliruan yang mesti diluruskan.

Buku antologi puisi di tangan pembaca ini memuat puisi-puisi karya para kader IMM Lamongan yang sejatinya memuat peristiwa-peristiwa itu. Semangat, gagasan, ide, perasaan, spiritualitas, dan berbagai hal yang mungkin tak tampak, muncul dalam puisi-puisi mereka. Setiap keresahan yang muncul memberi penegasan bahwa wajah puisi, wajah karya sastra, hari ini idak hadir dari ruang hampa. Melainkan mampu menjadi jembatan yang menghubungkan umat manusia dengan peradaban yang maju dan unggul. Tentu, semua berlandaskan pada nilai-nilai dan idealisme penulisnya masing-masing. Di samping itu semua, saya punya harapan, sastra menjadi salah satu startegi gerakan kebudayaan IMM ke depan. Selamat atas lahirnya buku ini!

Depok, 24 Juni 2021


Daftar Pustaka


Esten, Mursal. 1981. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Penerbit Angkasa.

Hadi WM, Abdul. “Kebudayaan, Kekuasaan, dan Krisis”. Naskah Pidato Kebudayaan Mengeja Kembali Kebudayaan Indonesia (75 Tahun Abdul Hadi WM), 24 Juni 2021.

Kuntowijoyo. 2002. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. 2013. Maklumat Sastra Profetik; Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra. Yogyakarta: Multi Presindo

Mohamad, Goenawan. 2016. Fragmen. Jakarta: Gramedia.

______

[1] Penulis merupakan pemuisi, penulis buku Memutus Wabah Pilu Menyemai Benih Rindu (Diva Press, 2020), aktivis IMM, dan pegiat literasi.
[2] Cendekiawan Muslim, budayawan, dan sastrawan yang mencetuskan Ilmu Sosial Profetik dan Ilmu Sastra Profetik.
[3] Peneliti di bidang Sastra Indonesia
[4] Sastrawan dan budayawan yang banyak menulis dan mengkaji sastra sufistik.
[5] Jurnalis dan Budayawan yang dikenal dengan sajak dan esai-esainya di Catatan Pinggir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021