Langsung ke konten utama

Puisi: Tanya Jawab Bapak dan Anak


Tanya Jawab Bapak dan Anak - Oleh Ahmad Soleh

1/
Ada bapak bertanya pada anaknya:
“Nak, buat apa mainan sebanyak itu?
Toh, yang main bapak.
Kamu cuma suka belinya saja.”


2/
Ada bapak bertanya pada anaknya:
“Nak, kamu masih mau beli mainan lagi?
Yang keluar uang kan bapak, bukan kamu.
Nanti ibumu marah, beli mainan terus.”


3/
Ada bapak bertanya lagi pada anaknya:
“Nak, sudahkah kamu bahagia?
Bapak sudah belikan banyak mainan.
Tak peduli ibumu cerewet, bapak mau
Beli mainan buat main lagi.”


4/
Ada bapak bertanya terus pada anaknya:
“Nak, mau sampai kapan main dengan gawai itu?
Bapak sudah belikan mainan baru.
Ayo main sama bapak.”


5/
Ada bapak bertanya pada anaknya. Anaknya menjawab:
“Aku mau main setiap waktu, tapi setiap hari Bapak kerja.
Bapak sibuk cari uang untuk beli mainan yang akhirnya
Bapak sendiri yang mainkan saat hari libur tiba.
Lalu Bapak kesal sendiri, kan, tak ada teman main.”


6/
Ada bapak bertanya pada anaknya. Anaknya balik tanya:
“Pak, bisakah Bapak pakai uang itu untuk membeli waktu?”

Depok, 4 Oktober 2021


*Puisi ini pernah ditayangkan di Qureta.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021