Langsung ke konten utama

Esai: Menegakkan Bahasa Indonesia secara Kafah


Menegakkan Bahasa Indonesia secara Kafah - Oleh Ahmad Soleh

Dipikir-pikir, bagaimana mungkin bisa berbahasa Indonesia secara kaffah, jika kaffah sendiri merupakan bahasa Arab. Dus, dalam kamus kita diserap jadi kafah, dengan satu f.

Apa artinya kaffah atau kafah? Saya mengutip KBBI, kafah memiliki dua makna, yakni sempurna dan keseluruhan. Sempurna sebagai adjektiva (kata sifat), keseluruhan sebagai nomina (kata benda).

Jadi, tak heran jika kita menemukan kata kafah bersanding dengan kata atau frasa lain, seperti judul tulisan ini; Berbahasa Indonesia Secara Kafah (Kaffah). Meski, sebenarnya lebih sering digunakan sebagai istilah agama Islam; berislam secara kafah, menegakkan Islam secara kafah, dst.

Semangat menegakkan bahasa Indonesia secara kafah—selanjutnya saya akan mengikuti KBBI, secara menyeluruh, sebenarnya telah dimulai sejak lama. Kalau saya tak salah sejak zaman Presiden Soeharto. Waktu itu saya masih duduk di bangku SD.

Ingat betul, semua nama ruko dan perumahan elite yang berbahasa Inggris serentak diubah ke dalam bahasa Indonesia. Ada pula yang sekadar menambahkan huruf yang seakan menjadi betul-betul nama, bukan bahasa asing. Misalnya, Blabla Garden jadi Blabla Gardenia.

Di era Presiden Jokowi kembali dikeluarkan perppu tentang penggunaan bahasa Indonesia, mencakup berbagai hal, mulai dari pidato resmi sampai plang dan merek dagang.

Menurut UU tersebut semua harus menggunakan bahasa Indonesia, yang baik dan benar. Baik dan benar ini di kalangan pemerhati dan pengguna bahasa kerap mendapatkan kritik. Karena sampai hari ini belum ada acuan resmi bagaimana bahasa itu dianggap benar.

Dia dinamis dan senantiasa berubah. Hari ini A besok bisa lain lagi. Nah, ini saya bahas di lain tulisan lagi saja. Karena kali ini saya ingin membahas tentang semangat menegakkan penggunaan bahasa Indonesia secara kafah itu tadi.

Di tataran penutur bahasa memang begitu dinamis. Sehingga ada yang bilang, di tataran pekamus bahasa begitu tertib dan disiplin, sementara di tataran penutur bahasa bisa begitu ugal-ugalan.

Benar saja, kita kerap mendapati bagaimana bahasa itu bisa bergeser maknanya, tak tepat penggunaannya, dan bercampur baur dengan bahasa asing. Hal yang menjadi perhatian Ivan Lanin, seorang wikipediawan yang begitu cinta terhadap bahasa Indonesia.

Pria yang kerap mengampanyekan bahasa Indonesia di media sosial ini, beberapa waktu yang lalu menerbitkan buku. Judulnya Xenoglosofilia; Kenapa Harus Nginggris?.

Dari judulnya saja sudah kentara maksudnya. Dalam buku ini berisi tulisan-tulisannya yang semua tampil di blog dan media sosialnya. Pembahasan yang ringkas tapi bernas membuat pembaca tidak akan bosan. Meski tentu akan ada beberapa pandangan yang bertolak dengan keinginan pembaca.

Buku ini menghadirkan semangat menegakkan bahasa Indonesia secara kafah. Saya katakan demikian karena jelas di judulnya saja, Uda Ivan sudah menggugat para pencinta bahasa Inggris yang dalam berbahasa, tulis maupun lisan, kerap mencampur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.

Bahkan lebih merasa bangga jika berbahasa Inggris ketimbang berbahasa Indonesia. Itulah kenapa xenoglosofilia jadi judul buku ini. Xenoglosofilia sendiri artinya lebih cinta menggunakan bahasa asing, khususnya Inggris.

Kendati begitu, saya menangkap sikap Ivan Lanin ini bukan sebagai sikap alergi atau anti terhadap bahasa asing. Lagi pula bagaimana mungkin kita bisa alergi dan anti terhadap bahasa asing, sementara bahasa Indonesia sendiri banyak diperkaya oleh bahasa Arab, Inggris, Belanda, juga Sanskerta.

Semangat yang dibawa Ivan Lanin di sini adalah energi positif untuk menghidupkan kecintaan terhadap bahas Indonesia, seperti yang dilakukannya di Twitter, blog, dan media sosial lainnya. Buku ini semacam rekam jejak, tiap lembarnya akan mengajak kita (pembaca) untuk makin cinta dan bangga terhadap bahasa Indonesia.

Semangat Ivan Lanin untuk menegakkan bahasa Indonesia secara kafah ini, dilakukan dengan tiga cara. Pertama, menerjemahkan dan menyerap bahasa asing.

“Penerjemahan,” kata Ivan, “adalah suatu proses yang merupakan gabungan antara logika, kebiasaan, dan seni.” (halaman 9). Salah satu contohnya adalah kata pedantis, yang dia serap dari bahasa Inggris pedantic.

Dia juga memberikan alasan kenapa pedantis (dengan s) bukan pedantik (dengan k). Adapun artinya, “terlalu peduli dengan aturan formal dan remeh-temeh, suka pamer pengetahuan, sering dengan gaya yang membosankan, rewel dengan pilihan bahasa.” (halaman 22).

Proses ini juga bisa disebut dengan membentuk kata baru atau neologisme. Contohnya di halaman 13, Ivan Lanin mengajukan kata penjamuan untuk terjemah dari hospitality. “Kebanyakan institusi yang terkait menerjemahkannya menjadi perhotelan atau perhotelan dan restoran atau bahkan menyerap langsung dengan hospitalitas.”

Kedua, mengakomodasi bahasa lokal (daerah) yang bisa dibentuk-makna sepadan dengan istilah atau kata dari bahasa asing. Contohnya pranala (halaman 17). Pranala merupakan padanan kata hyperlink atau link.

“Pranala diambil dari bahasa Kawi atau bahasa Jawa Kuna, pranāla, yang berarti anak sungai, saluran, atau terusan dari kolam (Kamus Jawa Kuna-Indonesia PJ Zoetmulder dan SO Robinson).” (halaman 18). Meski begitu, sebenarnya kamus sudah menyediakan kata tautan sebagai padanan link.

Ketiga, memanfaatkan kata yang sudah ada di kamus dengan pemberian makna baru. Di halaman 68, Ivan Lanin mengajukan usulan agar makna tagar (tanda pagar) di kamus direvisi.

Dia mengusulkan, “2 label berupa suatu kata yang diberi awalan tanda pagar dalam pesan pada layanan mikroblog: bubuhkan — #bahasaku pada semua pesanmu.” Yang ini sebenarnya sudah ada di KBBI versi daring.

Buku setebal 214 halaman ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama Xenoglosofilia yang menghadirkan berbagai opsi padanan kata untuk istilah atau kata asing (bahasa Inggris). Bagian kedua yaitu Tanja yang berisi tanya jawab. Tanja sendiri dibahas di halaman 96.

Tanja merupakan akronim dari tanya jawab yang disodorkan Ivan kepada kita untuk pengganti FAQ (frequently asked question). “Alasan saya sederhana, tanja belum ada dalam kamus bahasa Indonesia dan sama dengan penulisan kata tanya menurut Ejaan Soewandi (y ditulis j).” (halaman 98).

Bagian ketiga buku ini, hampir sama dengan buku-buku berkonsep serupa, yakni membahas Mana Bentuk yang Tepat?. Pada bagian ini, Ivan menghadirkan kata-kata yang kerap membingungkan pengguna, antara mana yang baku dan yang tidak baku. Atau antara dua kata berbeda makna yang kerang dianggap sama dan sering dipertukarkan (tertukar). Misalnya saja pada pembahasan Jalur dan Lajur.

Baik jalur maupun lajur memiliki makna sendiri dalam kamus bahasa Indonesia, keduanya juga merupakan kata baku. Ivan juga mengutip KBBI versi III untuk menjelaskan perbedaan makna keduanya. Cukup singkat dan mudah dimengerti.

Contoh lainnya, untuk baku dan tak baku, antara dimungkiri atau dipungkiri. Ivan memberikan penjelasan yang padat, “Kata ini merupakan bentuk pasif dari kata memungkiri—kata dasar mungkir yang diserap dari bahasa Arab, munkir.” (halaman 189).

Buku ini bukanlah buku berat, meski memuat informasi-informasi penting.Kendati begitu, jangan khawatir untuk membacanya karena begitu mudah dicerna. Dan, jangan pula menyesal jika setelah membaca buku ini, anda akan pilih-pilih ketika menemukan kata atau istilah baru dalam bentuk asing.

Identitas buku

Judul: Xenoglosofilia; Kenapa Harus Nginggris?
Penulis: Ivan Lanin
Penerbit: Kompas
Tebal: 214 halaman
Cetakan kedua: Februari 2019
ISBN: 978-602-412-412-0

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021