Langsung ke konten utama

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi


 

Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh

Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa.

Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah.

Namun, lagi-lagi sosok negarawan yang lahir dari "pabrik kearifan kata" ini tidak sekadar menjadi uswatun hasanah (contoh yang baik) bagi kita semua. Bagi saya, perilaku dan sikap Buya Syafii dapat kita tarik sebagai kritik tajam dan menohok buat para politisi dan pejabat negara hari ini. Bicara soal kritik, Buya Syafii juga termasuk orang yang sangat tajam mulutnya, apalagi bila berhadapan dengan politisi. “Politisi harus naik kelas jadi negarawan,” ungkap Buya dalam berbagai kesempatan, yang tampaknya cuma jadi angin lalu bagi para politisi dan pejabat negara.

Hidup Sederhana


Buya Syafii sudah jamak dikenal banyak kalangan, tokoh, dan masyarakat sebagai sosok yang hidup dalam kesederhanaan. Pernah berada di pucuk pimpinan ormas Islam terbesar, PP Muhammadiyah, tidak lantas membuatnya merasa paling hebat. Bersahaja. Begitulah kesan setiap orang yang mengenal dan pernah berinteraksi dengan Buya. Bahkan, dalam kesehariannya, Buya Syafii tidak pernah mau diistimewakan—meskipun beliau adalah sosok yang istimewa. Padahal, seandainya ada tradisi kultus di Muhammadiyah, Buya Syafii adalah sosok yang pantas dikultuskan setelah KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Ketika dirawat di RS Muhammadiyah, misalnya, beliau bisa saja menggunakan ketokohannya untuk mendapat pelayanan "khusus", namun Buya memilih setara dengan pasien lain. Ya, ia mengantre dan membayar biaya pengobatannya sepreti pasien lain. Ketika bepergian, alih-alih meminta jemput sana-sini, beliau memilih kendaraan umum atau taksi, yang menurut beberapa kesaksian, beliau selalu datang tiba-tiba agar tidak dijemput dan merepotkan semisal sedang diundang dalam acara tertentu.

Buya Syafii juga kerap terlihat mengayuh sepeda bututnya dalam keseharian. Sesuatu yang saya rasa tidak lazim dilakukan tokoh nasional sekaliber beliau, yang harusnya ke mana-mana diantar sopir atau jemputan. Selain itu, Buya juga merupakan seorang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orang lain. Ketika harus mengisi seminar atau mengisi kuliah misalnya, beliau tak pernah mau dibawakan tasnya. "Saya masih sanggup," sergahnya. Barangkali kesederhanaannya inilah yang membuat ia dicintai banyak orang.

Lagi-lagi ini jadi kritik. Bukankah sikap hidup semacam ini begitu bertolak belakang dengan para politisi dan pejabat negara hari ini? Kesederhanaan Buya Syafii jelas bukan jargon-jargon, bukan dilakukan di masa kampanye, bukan dilakukan demi meraih atensi berbagai pihak. Buya melakukannya dengan tulus dan memang begitulah Buya Syafii. Kesederhanaan adalah barang mewah. Mewah sebab tidak semua orang memilikinya di masa sekarang yang begitu gemerlap ini. Tapi Buya Syafii memilikinya dan menerapkannya hingga akhir hayatnya.

Pancasilais Tulen

Gambar: Omong-Omong.com



Menurut saya, Buya Syafii merupakan sosok Pancasilais tulen. Beliau amat layak disebut sebagai guru bangsa, sebab kiprahnya dalam berbagai hal menyangkut kemanusiaan dan membela hak-hak hidup manusia begitu besar. Bila ada yang mendaku dirinya paling Pancasila di masa sekarang ini, yang paling pas mendeklarasikan hal itu ialah Buya Syafii. Buya, dalam berbagai forum, kerap menyentil muka publik dengan kalimat, “Dalam perkataan, kita memuliakan Pancasila, tetapi dalam perbuatan tanpa malu-malu kita mengkhianatinya” dan menyebut “Sila kelima masih menjadi anak tiri” untuk menyindir para penguasa yang tidak punya empati.

Dalam tulisannya, Buya Syafii (2005: 6) mengungkapkan, “Saya mengamati, kesungguhan untuk melaksanakan sila kelima ini masih saja belum terlihat secara nyata sampai hari ini. Seakan-akan kita sudah tercabut dari cita-cita proklamasi yang dengan susah payah diperjuangkan oleh para pendiri negara ini sejak masa pergerakan nasional permulaan abad yang lalu.” Akibatnya, menurut Buya, masyarakat Indonesia masih tunggang langgang dililit problem kemiskinan yang tak sudah. “Mereka belum juga merasakan keadilan, baik keadilan sosial, keadilan ekonomi, maupun keadilan politik,” ungkapnya.

Selain tamparan-tamparan semacam itu, Buya juga merupakan sosok Pancasilais tulen dalam perbuatan. Tak syak lagi, Buya Syafii tidak hanya memahami Pancasila sebagai sebuah teks berisi falsafah bangsa, melainkan menjadikannya ruh dalam berkehidupan sosial. Sikap toleran, egaliter, menjunjung kemanusiaan merupakan laku Pancasila yang Buya tunjukkan. Baginya, Pancasila jangan hanya menjadi pemanis bibir, tetapi menjadi laku, menjadi perbuatan. Pun, omong kosong bila bicara Pancasila, tetapi masih melakukan diskriminasi terhadap golongan lain. Sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” menurut Buya, tidak boleh mendiskriminasi. Keadilan milik semua tanpa pandang bulu.

Sikap Buya ini tentu kerap berseberangan dengan para pejabat negara dan politisi yang suka menjadikan Pancasila sebagai jargon dan alat politik belaka. Mengaku Pancasilais, tetapi mengkhianatinya dengan perilaku tak beradab. Mengaku orang kecil (uwong cilik), tetapi tidak berempati kepada mereka yang menderita karena terinjak sepatu kekuasaan. Meminta dukungan untuk berkuasa, tapi tidak berusaha menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial saat sudah berkuasa. Merekalah politikus tunaadab—dalam istilah Buya.

Saya rasa, laku yang ditunjukkan Buya Syafii, selain menjadi teladan, juga merupakan kritik buat mereka—mungkin juga kita—yang sehari-harinya hanya mementingkan perut sendiri, serakah, diperbudak kekuasaan dan uang, serta berpikir serbapragmatis dan transaksional. “Bangsa ini adalah tanggung jawab seluruh elemen bangsa,” begitu ungkap Buya saat saya mengikuti sebuah forum nasional di UMY enam tahun silam. “Dan bangsa ini, dibangun mulai dari titik dan koma,” sergahnya lagi.

*Esai ini sudah ditayangkan sebelumnya di Omong-Omong.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021