Langsung ke konten utama

Esai: Idul Fitri dan Duka Palestina


Idul Fitri dan Duka Palestina – Oleh Ahmad Soleh

Mengawali tahun 2021 terasa sangat berat dan melelahkan. Padahal, belum juga setengah perjalanan kita mengarungi tahun ini. Betapa tidak? Pada awal tahun, negeri ini dilanda berbagai bencana alam, tragedi pesawat jatuh, dan terakhir peristiwa tenggelamnya Kapal Selam KRI Nanggala-402. Deretan peristiwa duka tersebut terasa begitu cepat dan bertubi-tubi. Belum lagi, wabah Covid-19 yang belum juga usai dan kita masih harus berupaya agar segala cobaan ini dapat dilalui dengan baik.

Terkadang, batin kita merasa seperti ingin menghela napas panjang dan beristirahat yang lama. Sambil membayangkan ketika kita terbangun nanti, keadaan sudah kembali baik dan normal. Sayangnya, hal itu hanya bisa terjadi dalam mimpi dan angan kita. Sementara kita harus tetap menegakkan kepala dan menguatkan pundak untuk menghadapi kenyataan ini.

Hadirnya bulan Ramadhan 1442 H sebenarnya menjadi salah satu pelepas dahaga batin di tengah suasana yang tak menentu ini. Bulan ini terasa seperti waktu khusus bagi kita me-recharge semangat hidup. Pada bulan suci, kita merasakan hawa yang berbeda dari biasanya. Entah apa ini hanya perasaan saja? Tapi itulah kenyatannya.

Sebab, pada penuh berkah ini, kita ditempa secara spiritual, mental, dan sosial. Penempaan itu adalah proses edukasi yang tak ternilai seandainya kita hendak mengambil hikmah (pelajaran) secara mendalam. Pelajaran yang langsung diperintahkan oleh Allah. Pada bulan Ramadhan, semua hal baik terasa lebih meriah dan ramai. Terbukti, semangat kaum Muslim untuk berlomba berbuat kebaikan (fastabiqul khairat) begitu besar pada bulan ini. Dapat dilihat dari tingginya antusias untuk berbagi sesama manusia, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, hingga di pengujung Ramadhan menunaikan ibadah zakat fitrah.

Bulan Muhasabah


Tentu kita berharap, bulan ini juga menjadi sarana bagi kita mengokohkan iman dan ketakwaan. Seraya dengan lekas, terus memanjatkan doa agar segala kejadian dan musibah yang terjadi selama ini segera bisa kita lalui dengan sebaik-baiknya. Kita percaya, Allah Swt tak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuan kita. Allah Maha Pemurah dan Mahatahu apa yang terbaik untuk kita.

Selain itu, Ramadhan yang mulia menjadi sarana bermuhasabah diri. Berkaca atas segala dosa yang bila dikalkulasi mungkin telah jauh lebih berat timbangannya dibandingkan timbangan amal ibadah dan amal saleh kita selam sebelas bulan belakangan. Maka, memohon ampun sembari meningkatkan tensi ibadah bisa kita lakukan pada bulan ini. Mengurangi maksiat dan dosa-dosa yang tak tamoak, seperti kebiasaan berghibah, menyebarkan informasi fitnah dan hoaks, mengadu domba, mengejek sesama, dan sebagainya. Setidaknya itulah bukti dari kesungguhan kita bertobat di jalan Allah.

Proses penempaan pada bulan Ramadhan akan berujung pada esok hari, pada 1 Syawal. Saat yang dinantikan, Idul Fitri atau Lebaran. Pada masa-masa biasa, Idul Fitri kita isi dengan tradisi mudik dan berkumpul dengan keluarga. Namun, oleh sebab kondisi masih pandemi, kita mesti berbesar hati mengurangi berkerumun dan bersilaturahim via teknologi komunikasi. Tak perlu bersitegang dengan kondisi di luar sana. Percayalah, ibadah Ramadhan kita tetap afdhol, meski serasa ada yang kurang bila tradisi itu tak dilaksanakan. Hal yang amat manusiawi. Allah mengajarkan kita untuk saling mengingatkan dalam kesabaran. Maka, bersabarlah karena orang yang sabar amat dicintai oleh Allah Swt.

Duka untuk Palestina


Di tengah semarak dan kegembiraan menyambut Idul Fitri yang kerap kita sebut sebagai hari kemenangan, kita kembali diterpa kabar duka. Seperti belum cukup segala hal yang terjadi ini. Kabar duka ini datang dari saudara seiman kita di kompleks Masjid Al-Aqsha di Yerusalem, Palestina. Masjid Al-Aqsha kembali diserang oleh militer dan polisi Israel, Senin (10/5). Bentrok antara aparat Israel dan warga Palestina pun tak terhindarkan. Peluru karet, meriam kejut, dan granat air pun mewarnai pecahnya bentrokan tersebut.

Dalam penyerangan itu, korban yang berjatuhan mencapai ratusan orang. Dalam data yang dirilis Republika (edisi Selasa, 11/5), korban luka-luka pasa Senin (10/5) sudah mencapai 305 orang warga Palestina dan 16 polisi Israel. Penguasa Israel dengan arogansinya berusaha menggusur warga pribumi Yerusalem secara paksa. Tujuannya, tak lain untuk melakukan pencaplokan lahan. Hal yang telah terjadi beratus-ratus tahun. Penjajahan militer dengan perangkat persenjataan lengkap datang ke salah satu masjid suci umat Muslim dengan tujuan yang amat biadab.

Lebih biadab lagi, selain menyerang jamaah yang tengah beribadah di Al-Aqsha, pasukan militer Israel juga menyerang anak-anak di Perbatasan Gaza. Menurut data yang dirilis Republika (Selasa, 11/5), sedikitnya 20 orang gugur dalam peristiwa tersebut, sedangkan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Anak-anak yang gugur dalam penyerangan itu antara lain Mustafa Aloush, Zakaria Aloush, dan Mohamad Abeid. Mereka bertiga merupakan siswa sekolah menengah. Di Beit Hanoun, tiga anak gugur, termasuk gadis berusia 10 tahun bernama Rahaf al-Masri (Republika edisi Selasa, 11/5).

Meski telah sedemikian parah dan mengorbankan banyak nyawa, PM Israel Benjamin Netanyahu tetap bersikeras melakukan penyerangan dan mengatakan bahwa kekerasan akan terus berlangsung. Betapa mengerikannya kondisi ini. Dan kita yang hari ini masih larut dalam euforia menjelang Idul Fitri, ada baiknya untuk hening cipta sejenak. Kita doakan saudara-saudara kita di sana diberikan kekuatan lebih besar dan ketabahan hati yang luar biasa oleh Allah Swt. Kita doakan juga agar pemimpin-pemimpin negeri Muslim di seluruh dunia tergerak hatinya untuk membantu Palestina lepas dari jerat penjajah Israel. Yakinlah, Allah Maha Mendengar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021