Langsung ke konten utama

Esai: Sastra Jungkir Balik Budi Darma


Sastra Jungkir Balik Budi Darma - Oleh Ahmad Soleh

Barangkali saya bukan orang yang cukup mumpuni untuk bicara atau menulis sosok (alm) Budi Darma secara personal. Selain karena tidak pernah berinteraksi langsung dengan beliau, saya juga belum pernah sekali pun bertemu dengan beliau, apalagi kuliah atau bimbingan dengan beliau. Namun, jangan salah, entah kenapa dan bagaimana, nama Budi Darma selalu mengiang di kepala saya bila bicara soal sastra Indonesia. Saya pun tak tahu pasti mengapa ada perasaan demikian dalam diri saya. Semacam ada energi besar yang terus menarik saya untuk membaca sosok Budi Darma—lewat karya-karyanya.

Sebagai penikmat sastra, saya mengenal Budi Darma lewat Orang-Orang Bloomington. Belakangan, saya baru tahu bahwa ia menulis novel itu dari pengalamannya ketika berada di Bloomington. Di sana ia begadang, berjalan-jalan, mengamati keadaan, mengamati dan berinteraksi dengan orang-orangnya, lalu menulisnya. Sebuah tradisi kepengarangan yang mungkin juga dialami sebagian besar pengarang, entah novelis atau pengrajin puisi. Kemudian, sebagai pencinta esai, esai-esai Solilokui yang begitu melegenda juga menjadi pintu saya mengenal sosok Budi Darma. Misalnya beberapa gagasannya mengenai sastra dan kreativitas. Lalu saya putuskan, dalam esai singkat ini, saya bakal membatasi untuk membahas dua hal tersebut saja; sastra dan kreativitas.

Bagi Budi Darma, sastra adalah jalan menghadirkan kemungkinan-kemungkinan. Saya rasa, hal itu bisa dipertimbangkan, sebab sastra memang tak sekadar teks berisi pesan sepintas lalu. Sastra bertali erat dengan kebudayaan, tradisi, kondisi sekitarnya, dan golak batin penulisnya. Bilapun tidak demikian, setidaknya sastra menjadi ruang celah antara realitas dan khayalan yang mungkin mampu berdialog menjadi apa yang disebut sebagai “kesadaran”. Saya jadi teringat pidato kebudayaan Ahmad Tohari tahun 2014 di Dewan Kesenian Jakarta. Dalam pidato itu, Tohari mengungkapkan bahwa “sastra tidak mempunyai kekuatan apa pun kecuali sesuatu yang diharapkan bisa menyentuh kesadaran dan jiwa manusia.”

Kembali ke ungkapan Budi Darma, sastra baginya merupakan jalan menuju kemungkinan. Di mana “keindahan” dalam karya sastra itu sebenarnya bisa jadi bermakna lain, bisa jadi ada maksud lain dari penggambaran itu. Itulah yang ia sebut sebagai kemungkinan-kemungkinan tadi. “Kata orang, sastra itu keindahan. Akan tetapi, keindahan justru terjadi dari hal-hal yang bertentangan dengan akal,” ujar Budi Darma. Sampai di sini Budi Darma mencoba mempertanyakan mengapa karya sastra yang tidak logis, tidak masuk akal, itu tidak dianggap sebagai kebohongan? “Apakah sastra merupakan dunia jungkir balik?” tanyanya.

Kendati begitu, pada bagian lain, Budi Darma mengatakan, sastra memang karya tulis, tetapi yang penting bukan tulisannya. Lalu apa? Ia menulis, “melainkan apa yang ada di dalamnya.” Dalam pandangan Budi keindahan dalam karya sastra bukanlah disebabkan oleh keindahan bahasanya, melainkan karena keberhasilan tulisan sastra tersebut mendekati sebuah kebenaran. Dalam hal ini, saya rasa pandangan Budi Darma agak berbeda dengan kebanyakan sastrawan lainnya. Sebab, keindahan bagi Budi Darma bukanlah cangkangnya, melainkan isinya. Sementara ada pula yang beranggapan bahwa cangkang atau kulit yang indah pun diperlukan dalam karya sastra.

Jadi, pandangan tentang sastra Budi Darma ini memabwa kita kembali pada ingatan tentang betapa karya sastra menjadi amat penting dalam menyampaikan kebenaran. Tentu saja, karya sastra tidak menyampaikan kebenaran seperti koran-koran atau teks berita, melainkan melalui jalan yang disebut Budi Darma sebagai “kemungkinan” itu tadi. Dengan kemungkinan itulah, pembaca bakal menemukan kebenaran itu—yang tadi disebut Ahmad Tohari bakal menyentuk kesadaran dan jiwa manusia.

Kemudian, perihal kreativitas kepengarangan. Kita memang bisa belajar dari mana saja, dari siapa saja, dan bahkan dari apa saja. Kreativitas dalam mengarang memang suatu yang penting. Tapi, kreativitas yang dimaksud Budi Darma tidak hanya melibatkan alam khayal belaka. Kreativitas bagi pengarang adalah kreativitas yang berpadu dengan kemampuan lainnya, seperti kepekaan, empati, kecermatan, dan sebagainya. “Seorang seniman yang baik mempunyai sikap hidup intelektual, yaitu selalu mencari, selalu mengkaji, dan hidup dengan baik. Sikap hidup yang demikian inilah yang menunjang kreativitas,” ungkapnya.

Seorang pengarang cerpen, novel, ataupun pengrajin puisi mesti memiliki sikap intelektual itu. Meski, dalam hal ini pengertian “meneliti” atau “mengkaji” tidak sesempit pengertian di bangku akademis. Meneliti dan mengkaji bagi seorang pengarang adalah mencoba masuk lebih dalam ke tengah masyarakat, menembus malam, merasakan sepi, dan sebagainya. Dan dengan begitulah mereka para pengarang akan menemukan “sesuatu”. Sebab, menulis karya sastra adalah sebuah kesadaran untuk menumbuhkan kesadaran itu kepada orang lain—pembaca.

Sastra sebagai sesuatu yang “mungkin” perlu diyakini merupakan jalan mencapai apa yang ideal, mencapai apa yang lebih baik. Sekiranya itulah, dengan indah, berbunga-bunga, dengan isi yang mendalam, pengarang bisa hadir memberikan pencerahan bagi pembacanya. Dan, dalam esai-esainya Budi Darma kerap mengingatkan, bahwa untuk mencapai “kemungkinan” itu jalan yang harus ditempuh pengarang adalah dengan menerbitkan karyanya. Ya, buat apa berkarya bila tidak diterbitkan?

*Esai ini dimuat di buku Murid Kultural Budi Darma

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021