Langsung ke konten utama

Esai: Bahasa, Kesantunan, dan Kompleksitasnya


Bahasa, Kesantunan, dan Kompleksitasnya - Oleh: Ahmad Soleh

Bahasa merupakan sebuah ruang besar, semesta, sebuah kehidupan. Di sana terdapat banyak kehidupan; kehidupan manusia, kehidupan kata-kata, kehidupan makna, tanda baca, dan sebagainya. Manusia dan bahasa memiliki hubungan yang sangat erat. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa ada bahasa.

Sebab, tanpa ada bahasa manusia tidak akan bisa mengekspresikan apa yang dia inginkan, apa yang dia rasakan, dan apa yang diharapkan. Dengan bahasa, manusia bisa saling berinteraksi satu sama lain. Dengan bahasa, manusia bisa merasakan kehadiran orang lain di dalam hidupnya, bisa merasakan kehidupan, dan merasakan fungsi sosial di lingkungan sekitarnya.

Bahasa sangat identik dengan kata-kata. Kata adalah satuan bahasa terkecil yang memiliki makna. Makna tersebut muncul dari proses berbahasa, yakni kata-kata yang terangkai secara terstruktur dan memiliki konteks. Nah, dengan bahasa kemudian kita bisa memahami berbagai hal, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit, paling njelimet.

Kali ini, saya akan mengulas secara singkat buku karangan Ahmad Santoso, seorang editor bahasa di Harian Jawa Pos berjudul Dikuasai Kata-Kata. Buku berisi terbitan Diva Press ini menarik karena membahas esai-esai bahasa yang sangat kekinian dan erat kaitannya dengan politik, masyarakat, dan isu gender.

Saya tidak akan membahasnya secara keseluruhan. Saya akan sedikit mengulas buku setebal 120 halaman ini dari satu sudut pandang bagaimana bahasa itu bisa memiliki peran dalam kehidupan manusia. Mungkin hanya seujung kukunya saja. Di sini, Achmad Santoso menulis satu esai yang menurut saya bisa menggambarkan bagaimana bahasa itu merupakan kehidupan.

Esai tersebut berjudul “Tiga Kata Sakti dari Orang yang Rendah Hati”. Bisa kita tebak dengan mudah apa tiga kata tersebut. Sebab, sudah sangat familier dalam kehidupan kita. Tiga kata tersebut adalah kata-kata yang sederhana, tapi sulit untuk diungkapkan. Yaitu kata tolong, terima kasih, dan maaf.

Ahmad Santoso menguraikan berbagai argumen tentang kata tolong. Di sana dia menjelaskan kata tolong adalah peranti penyeimbang. “Dengan menggunakan kata tolong, seseorang merasa tidak lebih hebat dari mitra tutur, dan apabila tidak terpenuhi, ia juga tak kecewa. Singkatnya, kata tolong itu memiliki unsur yang tidak memaksakan kehendak.” (Hlm 79).

Dalam budaya masyarakat kita, tolong-menolong adalah sudah menjadi budaya sejak lama. Kita mengenal beberapa istilah, seperti kerja bakti, gotong royong, urunan, patungan, dan sebagainya. Bahkan, Bung Karno pernah menggemakan frasa "gotong royong" sebagai identitas bangsa. Ya, jelas semangat gotong royong itu ibarat berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Menghadapi penderitaan dan susah bersama-sama. Tentu, di dalamnya pasti ada sikap baik tolong-menolong.

Tolong-menolong selain budaya yang baik, juga merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh agama (dalam hal ini Islam, tapi saya rasa semua agama pun demikian). Bagaimana kita mesti membantu orang lain yang membutuhkan, menolong yang kesusahan, atau setidak-tidaknya bisa memberikan pertolongan dalam bentuk doa, seandainya tidak bisa menolong secara langsung.

Itu dalam konteks budaya dan agama. Lalu bagaimana dalam konteks komunikasi? Ketika kita berinteraksi, bicara, atau berkomunikasi dengan orang lain pasti mesti mengedepankan etika yang tecermin dalam kesantunan. Nah, penggunaan kata tolong, dalam etika komunikasi termasuk perkataan yang baik dan santun. Seperti diungkapkan Achmad Santoso, “Tidak ada unsur memaksakan kehendak.”

Maka, percakapan “Tolong, bawakan aku secangkir kopi.” Akan terdengar lebih manusiawi, lebih sopan, lebih egaliter ketimbang “Bawakan aku secangkir kopi” yang tentu berkesan otoriter, bossy, dan memaksa. Dengan begitu, pasti berbeda rasanya antara percakapan menggunakan kata tolong dengan yang tidak menggunakan kata tolong.

Itulah kenapa tadi di awal saya sebut bahasa merupakan ruang kehidupan. Seperti kata Roland Barthes, bahasa merupakan semesta ruang hidup manusia. Sepenggal pernyataan Barthes yang saya lupa ada di buku apa itu menguatkan bahwa bahasa hidup dalam sebuah masyarakat. Oleh sebab bahasa menjadi penghubung manusia dengan manusia lainnya. Bagaimana di dalam aktivitas berbahasa itu kita bisa merasakan kehadiran orang lain. Dan begitupun orang lain akan merasakan kehadiran dan keberadaan kita.

Selanjutnya adalah kata maaf. Kata maaf memang sangat pendek, hanya empat huruf saja. Namun, kata maaf kadang sangat sulit untuk diucapkan. Hal itu disebabkan dalam kata maaf ada pengakuan bahwa “ya, aku salah.” Dan mengaku salah, tentu saja bukan perkara sederhana. Butuh keberanian dan jiwa satria.

Beda halnya dengan maaf yang hanya main-main. Maaf yang main-main, maaf yang hanya gimmick, atau basa-basi akan terasa lebih mudah terucap. Maaf yang mungkin diungkapkan buat tujuan dan kepentingan tertentu. Sementara itu, maaf membutuhkan ketulusan, bukan? Meminta maaf, kata Achmad Santoso, merupakan bagian dari tindak tutur ekspresif (hlm 79). Kemudian Achmad melanjutkan, mohon maaf membutuhkan keiklasan luar biasa bagi penuturnya. Jadi, mengucapkan maaf itu selain butuh keberanian, juga harus dengan ketulusan hati.

Yang ketiga adalah terima kasih. Ketika kita selesai mengerjakan sesuatu, ketika kita mendapatkan sesuatu dari orang lain, atau ketika diberi hadiah, kita pasti mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih merupakan bentuk apresiasi kepada orang lain yang sudah membantu kita, yang sudah berbaik hati kepada kita, yang peduli kepada kita. Ucapan terima kasih akan memberikan dampak positif terhadap psikologi seseorang.

Sebagaimana kita memberikan apresiasi kepada seseorang, dia pasti akan merasa senang, merasa dihargai, dan jerih payah atau perbuatannya bermakna bagi orang lain. Jadi, ucapan terima kasih yang terlihat sepele itu bisa jadi merupakan sesuatu yang berharga buat orang lain, bermakna, dan memberikan motivasi. Bisa dibilang, terima kasih adalah ungkapan yang ajaib.

Di sini, sekali lagi kita belajar bahwa bahasa bukan sekadar kata-kata, bahasa itu makna, dan yang paling penting adalah ia menjadi semesta kehidupan. Di dalam semesta kehidupan itulah kita merangkai, menebar, dan menangkap makna. Bukankah dengan makna itu kita bisa hidup menjadi manusia dan menjadi manusia hidup?

Sebagai manusia, makhluk yang bisa menciptakan sesuatu, sejak lahir bahkan sejak masih dalam kandungan kita selalu diperkenalkan dengan kata-kata dengan bahasa. Kita selalu diajak berkomunikasi oleh orang tua kita. Kita diajak mengenal dan menjelajah dunia ini lewat kata-kata, lewat komunikasi, lewat interaksi. Itulah bukti bahwa bahasa itu bukan sekadar kata-kata. Kata-kata kemudian akan menjadi kearifan, ekspresi, pijakan moral, ekspresi, orientasi budaya, bahkan memengaruhi aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat.

Dengan apik, esai-esai Achmad Santoso dalam buku ini membedah bahasa dan aneka kompleksitasnya. Tentu banyak tema-tema menarik yang sangat sayang bila dilewatkan begitu saja. Setidaknya, membaca buku ini membawa kita pada persoalan yang kadang dianggap remeh, sepele, tetapi sebenarnya penting untuk kita cerap hikmah di baliknya. Dan yang lebih penting, menurut saya, buku ini menjadi gambaran nyata bahasa selalu berkait erat dengan pelbagai sudut kehidupan kita.

Identitas Buku


Judul: Dikuasai Kata-Kata
Penulis: Achmad Santoso
Penerbit: Diva Press
Cetakan I: Juli 2021
Tebal: 128 hlm
ISBN: 978-623-293-097-1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021