Langsung ke konten utama

Esai: Dakwah, Mengembara Tanpa Kenal Lelah


 

Dakwah, Mengembara Tanpa Kenal Lelah - Oleh Ahmad Soleh

Prolog untuk buku Pengembara Dakwah

Dalam sebuah diskusi yang hangat, waktu itu tengah membedah buku Wajah Islam Kita (Pustaka Sedayu: 2020), moderator menyampaikan pengantar yang cukup memantik bagi para peserta diskusi malam itu. Satu hal yang ia sorot dari buku berisi esai-esai saya itu adalah mengenai wajah umat Islam yang gampang marah, ngambekan, sumbu pendek (gampang meleduk), dan gampang terprovokasi oleh narasi negatif di media sosial.

Barangkali kondisi semacam ini bukan cuma menjadi keresahan moderator seorang. Karena dalam buku itu pun memang saya membahas, dalam satu esai berjudul “Kang Musliminkah Kita?”, misalnya. Esai itu saya tulis setelah membaca cerita yang diungkapkan Gus Mus (KH Ahmad Musthofa Bisri) dalam bukunya Saleh Ritual, Saleh Sosial. Singkatnya, dalam esai itu terdapat sindiran mengenai umat Muslim yang gampang marah karena mengedepankan rasa cemburunya. Digambarkan Gus Mus dengan karakter Kang Muslimin, yang cemburuan dan emosian lantaran istrinya adalah kembang desa, perempuan yang amat dipuja-puja dan digandrungi para pria.

Alih-alih mengedepankan rasa cintanya, Kang Muslimin lebih suka marah-marah, menebar kebencian, bahkan mengancam sana-sini kepada siapa saja yang dianggapnya mengganggu ketenteraman rumah tangganya, lebih-lebih yang dengan lancangnya bersiul atau menggoda istri yang amat dicintainya itu. Di satu sisi, apa yang dilakukan Kang Muslimin adalah ekspresi kecintaan yang sangat besar. Namun di sisi lain, istrinya justru tidak senang dengan perlakuan Kang Muslimin yang lebih mengedepankan kemarahan dan kebencian, sedangkan perhatiannya terhadapnya tidak sebegitu besar.

Singkatnya, Kang Muslimin ndak ngerti apa yang diinginkan oleh istrinya itu. Sikap yang ditampilkan Kang Muslimin ini menjadi sebuah refleksi besar ke dalam diri kita. Lagi pula, Buya Hamka, dalam buku bertajuk Ghirah; Cemburu Karena Allah, pernah membahas perihal rasa cemburu dalam beragama ini. Buya Hamka menyebutnya dengan istilah ghirah. Bagi Buya Hamka, seorang Muslim sejati mesti memiliki ghirah dalam dirinya. Ghirah itu secara sederhana ia sebut sebagai rasa cemburu. Namun, sepertinya apa yang dimaksud Buya Hamka dengan cemburu berbeda dengan cemburu yang dipraktikkan oleh Kang Muslimin.

Ekspresi kecemburuan Kang Muslimin lebih menonjolkan sisi-sisi negatif dan cenderung melihat masalah dari sisi negatifnya. Sehingga, ekspresi yang muncul adalah kemarahan tak terkendali, kebencian membabi buta, caci maki, menyalahkan pihak lain, dan perangai tidak terpuji dan tidak mencerminkan nilai-nilai Islam lainnya. Ghirah dalam pemaknaan Buya Hamka juga mencakup rasa cinta, rasa memiliki, dan hasrat untuk bergerak menegakkan kebajikan sesuai nilai-nilai Islam. Rasulullah bersabda, “Allah tidak menyayangi orang yang tidak menyayangi orang lain (sesama manusia).” (HR Bukhari, Tirmidzi, dan Ahmad).

Maka, ekspresi kecemburuan yang diungkapkan dengan marah-marah dan kebencian tidaklah menjadi solusi. Hal itu tidak pula menjadi ekspresi yang tepat untuk mengungkapkan rasa cinta kita terhadap agama Islam. Lebih-lebih lagi mendakwahkan ajaran Islam yang mahacinta dan mahakasih itu. Bukankah junjungan kita diutus untuk menjadi kasih sayang bagi semesta alam? Sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya: 107).

Nah, pada bagian ini ingin saya garis bawahi mengenai ekspresi keislaman kita di era digital. Ini berkaitan juga dengan penelitian yang dilakukan Prof Martin Slama, peneliti dari Australian Academy of Sciences, bahwa era media sosial atau era digital membuat wajah Islam di Indonesia terlihat kian progresif-ekstrem dan konservatif. Ekspresi-ekspresi keislaman menunjukkan sikap yang keras, tidak lentur, bahkan intoleran terhadap perbedaan. Mengapa bisa terjadi seperti demikian?

Dalam hal ini perlu kita ingat sabda Rasulullah yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan hartamu. Dia melihat hati dan perbuatanmu.” (HR Muslim). Begitu pun manusia, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Mereka melihat umat Islam tidak dari seberapa rajinnya shalat, puasa, atau zakat, yang merupakan ibadah privat itu. Tidak pula dilihat dari serban, kopiah, atau cadar yang digunakan. Manusia di luar sana akan melihat umat Muslim dari bagaimana perilaku dan perangainya, bagaimana tutur katanya, bagaimana sikapnya, dan bagaimana unggahan-unggahannya di media sosial maupun komentar di sebuah unggahan.

Gencarnya gerakan-gerakan dakwah via media digital memang menandakan babak baru bagi dunia dakwah Islam yang sedianya hanya dilakukan lewat mimbar-mimbar ceramah atau pengajian, kini tersalurkan lewat konten-konten digital di media sosial atau kanal YouTube. Di dalamnya tidak hanya ada konten dakwah, tapi juga melibatkan kreativitas sang content creator. Ekspresi Islam yang keras, mudah marah, dan penuh dengan nada-nada kebencian di media sosial jelas-jelas menjadi masalah bagi citra Islam itu sendiri. Ditambah lagi ada pihak-pihak yang sengaja menyebarkan narasi negatif tentang Islam, seperti terorisme, Islamofobia, dan lainnya.

Narasi-narasi Islam yang semacam itu, menurut Dr Pradana Boy ZTF, membutuhkan narasi tandingan yang lebih masif. Mungkin lebih tepat bukanlah narasi tandingan, melainkan pengembangan narasi Islam positif yang mengedepankan nilai-nilai rahmah sehingga wajah Islam bukanlah marah-marah, melainkan ramah-ramah, penuh kasih sayang. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari pemaparan Mas Pradana Boy. Selebihnya merupakan upaya untuk memunculkan wajah Islam yang positif di tengah-tengah masyarakat digital.

Bukannya tidak ada. Saya sendiri meyakini bahwa narasi positif tentang Islam yang damai, tenteram, dan toleran ada, namun masih kurang masif. Masih kalah dari narasi negatif. Dakwah secara virtual pada akhirnya akan bermuara pada pengembangan narasi Islam wasathiyah, toleran, dan berkemajuan. Melakukan masifikasi artinya mengagendakan dakwah secara terstruktur dan sistematis. Sebab, tanpa terstruktur dan sistematis, masifikasi dakwah akan sulit dilakukan. Maka, dengan adanya wadah-wadah pergerakan dakwah mesti dimaksimalkan perannya. Jangan terjebak dalam ritual-ritual dakwah seremonial dan simbolik, gerakan dakwah berkemajuan mesti memenuhi aspek pengamalan atau eksternalisasi nilai.

Kehadiran buku Pengembara Dakwah merupakan salah satu upaya pengembangan narasi-narasi positif mengenai dakwah Islam di tengah modernisasi teknologi digital. Dikaitkan dengan kondisi pandemi Covid-19 yang belum juga usai. Apa yang dilakukan para penulisnya ini merupakan bentuk dakwah bil tadwin atau dakwah dengan tulisan. Dakwah dengan literasi semacam ini mutlak mesti menjadi arus utama dalam agenda dakwah ke depan. 

Apa yang dituliskan para penulisnya, yang notabene merupakan masyarakat akademis juga aktivis dakwah filantropi sosial, menggambarkan jiwa keislaman yang melebur nalar ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan spirit fastabiqul khairat, pada penulisnya mencoba menuangkan gagasan, ide, renungan, kisah, dan pesan-pesan bernilai. Ini juga merupakan wijid dari dakwah bil hikmah, dakwah dengan kebijaksanaan, tidak memaksa dan tidak menggurui. Sehingga, tulisan yang terkandung di dalamnya juga dapat menjadi pegangan para aktor dakwah yang tengah mengembara di jalan yang terjal.

Ya, jalan dakwah adalah jalan yang terjal dan mendaki, butuh pengorbanan waktu, pikiran, dan tenaga, bahkan juga harta benda untuk menjalaninya. Maka tidak berlebihan, bila memilih jalan berdakwah merupakan memilih pengembaraan yang tiada kenal lelah, kerja intelektual yang tidak ada ujungnya. Percayalah, segala hal yang dikorbankan di jalan Allah SWT dan demi kepentingan umat manusia, akan mendapat balasan berlipat ganda di akhirat kelak. Saya ucapkan selamat atas terbitnya buku Pengembara Dakwah ini. Buku yang recommended banget buat menjadi bahan bacaan para aktivis, akademisi, dan para pagiat dakwah agar tidak mudah lelah menggapai Lillah. Selamat mengembara!

Depok, 12 November 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021