Agama adalah salah satu bagian yang amat lekat dan tak bisa dilepaskan dengan kehidupan manusia. Sebagian besar manusia yang hidup di dunia ini memiliki keyakinan (iman) dan mengikatkan diri pada sebuah sistem kepercayaan bernama agama. Sebagaimana kita tahu, agama hadir untuk mengatur pola hidup umat manusia agar teratur dan terarah sesuai dengan tuntunan ajaran Tuhan.
Agama juga menjadi pedoman umatnya dalam menjalani, menyikapi, dan memandang sebuah realitas. Dengan begitu, agama tidak cuma menjadi kepercayaan, tapi juga menjadi world view. Di Indonesia, kita mengenal ada beberapa agama (resmi), seperti Islam yang jumlahnya mayoritas, Kristen (Katolik dan Protestan), Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu (aliran kepercayaan Confusius). Artinya, bangsa ini sebenarnya kaya akan nilai-nilai luhur agama dan spirit suci ketuhanan. Tapi mengapa kita masih banyak melihat banyak kemungkaran terjadi?
Ironisnya lagi, terkadang kemungkaran itu justru dilakukan dengan dalih dan alasan “perintah agama”. Seperti yang terjadi dalam tubuh umat Muslim. Dalam tubuh Islam tumbuh ideologi konservatif, bahkan muncul kelompok yang terus mengampanyekan teologi perang atau teologi maut yang kita kenal dengan istilah "radikalisme" dan “ekstremisme”. Teologi perang semacam ini, seperti memerangi atau memusuhi penganut agama lain, bahkan memerangi penganut agama yang berbeda aliran dan mazhab juga kerap terjadi di tengah kehidupan kita.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah di mana letak ajaran Islam sebagai rahmat bagi semua? Jadi kasih-sayang bagi semesta. Padahal, Allah dengan terang berfirman, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS al-Anbiya: 107). Maka, sejatinya Islam itu hadir untuk menjadi kasih sayang bagi semuanya. Bahkan, Franz-Magnis Suseno pernah mengungkapkan, seluruh agama di dunia ini memiliki misi rahmatan lil alamin—yang tentu saja dengan bahasa agamanya masing-masing.
Penekanan Aspek Transendensi
Prof Kuntowijoyo menggunakan metode strukturalisme untuk membaca dan menafsirkan ajaran Islam pada tataran sosial-budaya, politik, juga ekonomi. Struktur tersebut terbagi menjadi tiga, yakni kekuatan pembentuk struktur, struktur dalam (deep structure), dan struktur permukaan. Dalam pandangan Pak Kunto, tauhid adalah kekuatan pembentuk struktur yang paling dalam, bisa juga kita katakan superstruktur. Karena itu, tauhid menjadi yang paling mendasar untuk menjiwai berbagai agenda keagamaan, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Seperti halnya empat sila dalam Pancasila yang jiwanya ada pada sila pertama.
Kemudian, turunan dari tauhid itu lahir struktur dalam, yakni aspek akidah, ibadah, syariah, dan muamalah. Aspek akidah, ibadah, dan syariah bersifat immutable (tidak berubah). Sementara aspek muamalah, bisa saja berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman. Maka, transformasi Islam mesti dimaknai sebagai transformasi di ranah muamalah. Yang tentu saja dengan semangat transendensi (abstrak, metafisik, spiritual) menjadi ujung pangkal dan ruhnya. Karena semua itu berakar pada kekuatan yang membuat struktur yaitu tauhid. Prof Kunto menyebut struktur yang demikian itu sebagai strukturalisme transendental.
Dengan pemahaman keislaman yang demikian, sejatinya Islam bukan agama yang terbelakang dan tersembunyi dalam ruang-ruang mistik. Melainkan agama yang mampu menjadi kekuatan dan jiwa dari semangat perubahan dan pemajuan zaman. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apa yang mesti kita lakukan untuk membuat Islam tidak terkurung dalam kerangka pikir yang dangkal dan terbelakang? Menjadikan Islam lebih tampil ke permukaan dengan wajah yang penuh welas asih, toleran, peduli, dan mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Agenda Modernisasi Islam
Kuntowijoyo mengungkapkan “agenda baru” untuk memodernisasi agama. Modernisasi mesti dilakukan agar agama bisa sesuai dengan zaman. Untuk mencapai kemajuan itu, ada enam kesadaran yang mesti lahir dari dalam internal umat Islam sendiri. Pertama, kesadaran tentang perubahan. Hal-hal yang menyangkut dengan akidah, ibadah, dan syariah seperti disebutkan di awal tadi memang tidak akan berubah, paling hanya tafsirannya saja yang makin beragam karena persoalan ikhtilaf di antara kelompok satu dengan yang lain. Sementara itu, dalam hal muamalah yang ada kaitannya dengan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya tentu saja selalu berubah karena berkaitan dengan ilmu pengetahuan, kondisi masyarakat, dan perkembangan teknologi. Kesadaran akan perubahan itulah yang akan membawa umat Islam pada kemajuan peradaban.
Kedua, kesadaran kolektif. Kesadaran individu yang telah dimiliki oleh kita sebagai Muslim mesti juga dibarengi dengan adanya kesadaran kolektif. Yakni, kesadaran bahwa kita hidup dalam masa di mana kehidupan ini dikuasai kelompok-kelompok tertentu yang tidak hanya merugikan kaum Muslim, tapi juga umat manusia secara keseluruhan. Dengan semangat kesadaran kolektif, kita bisa kembali membangun persatuan umat dan memulai alternatif-alternatif untuk mengentaskan problem global. Pertentangan antarkelompok bukan lagi persoalan, bila semangat dan kesadaran kolektif ini telah tumbuh, semangat perlawanan terhadap penindas (zalim) juga dengan sendirinya akan terbangun.
Ketiga, kesadaran sejarah. Kesadaran bahwa kita berada dalam pusaran sejarah yang sedang dan terus berjalan. Dengan kesadaran sejarah kita bisa melihat masa lalu dengan jernih, kemudian mengambil peran dalam rangka menciptakan sejarah dengan optimisme. Keempat, kesadaran tetang fakta sosial. Islam dengan perangkat teologinya tidak hanya menghendaki perubahan pada ranah spiritual dan ritual dalam bentuk kesalehan pribadi, melainkan juga menjangkau terjadinya perubahan-perubahan di masyarakat. Upaya transformasi sosial itu menjadi agenda yang panjang dan melelahkan. Membumikan etika welas asih dan kasih sayang dalam kehidupan menjadi utopia ketika kita tak mampu membaca fakta sosial secara utuh, jernih, dan kritis.
Kelima, kesadaran tentang masyarakat abstrak. Apa yang digambarkan Kuntowijoyo sebagai masyarakat abstrak adalah sebuah sistem abstrak yang mengatur kehidupan dengan konteks masyarakat industrial. Bila kita tarik ke era digital seperti sekarang ini, hidup kita bukan hanya diatur sistem abstrak di tengah masyarakat, tapi juga ditentukan oleh masyarakat abstrak yang hadir di ruang-ruang digital. Di ruang itu tentu saja ada sistem algoritma yang mengatur dan mengarahkan kita pada sebuah realita ataupun abstrak di dunia maya. Tsunami informasi menjadikan masyarakat mudah terbawa arus. Tanpa disadari, hari ini informasi-informasi yang berlimpah itu tengah mengatur (atau mengacaukan) pola pikir masyarakat.
Terakhir, yaitu kesadaran perlunya objektivikasi. Di tengah kehidupan yang makin kaya akan keberagaman, upaya objektivikasi ini amat penting untuk dilakukan. Objektifikasi menjadi upaya untuk menjadikan nilai-nilai Islam bisa diterima oleh komunitas masyarakat yang kian beragam itu. Pada ranah inilah ijtihad perlu dilakukan habis-habisan. Guna menunjukkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin. Sehingga agama bukan menjadi bagian dari problem, tetapi menjadi solusi dan upaya kreatif menyelesaikan problem kehidupan.
*Tulisan ini pernah ditayangkan MadrasahDigital.co
Komentar
Posting Komentar