Langsung ke konten utama

Esai: Modernisasi Agama


Modernisasi Agama - Oleh Ahmad Soleh

Agama adalah salah satu bagian yang amat lekat dan tak bisa dilepaskan dengan kehidupan manusia. Sebagian besar manusia yang hidup di dunia ini memiliki keyakinan (iman) dan mengikatkan diri pada sebuah sistem kepercayaan bernama agama. Sebagaimana kita tahu, agama hadir untuk mengatur pola hidup umat manusia agar teratur dan terarah sesuai dengan tuntunan ajaran Tuhan.

Agama juga menjadi pedoman umatnya dalam menjalani, menyikapi, dan memandang sebuah realitas. Dengan begitu, agama tidak cuma menjadi kepercayaan, tapi juga menjadi world view. Di Indonesia, kita mengenal ada beberapa agama (resmi), seperti Islam yang jumlahnya mayoritas, Kristen (Katolik dan Protestan), Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu (aliran kepercayaan Confusius). Artinya, bangsa ini sebenarnya kaya akan nilai-nilai luhur agama dan spirit suci ketuhanan. Tapi mengapa kita masih banyak melihat banyak kemungkaran terjadi?

Ironisnya lagi, terkadang kemungkaran itu justru dilakukan dengan dalih dan alasan “perintah agama”. Seperti yang terjadi dalam tubuh umat Muslim. Dalam tubuh Islam tumbuh ideologi konservatif, bahkan muncul kelompok yang terus mengampanyekan teologi perang atau teologi maut yang kita kenal dengan istilah "radikalisme" dan “ekstremisme”. Teologi perang semacam ini, seperti memerangi atau memusuhi penganut agama lain, bahkan memerangi penganut agama yang berbeda aliran dan mazhab juga kerap terjadi di tengah kehidupan kita.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah di mana letak ajaran Islam sebagai rahmat bagi semua? Jadi kasih-sayang bagi semesta. Padahal, Allah dengan terang berfirman, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS al-Anbiya: 107). Maka, sejatinya Islam itu hadir untuk menjadi kasih sayang bagi semuanya. Bahkan, Franz-Magnis Suseno pernah mengungkapkan, seluruh agama di dunia ini memiliki misi rahmatan lil alamin—yang tentu saja dengan bahasa agamanya masing-masing.

Penekanan Aspek Transendensi


Prof Kuntowijoyo menggunakan metode strukturalisme untuk membaca dan menafsirkan ajaran Islam pada tataran sosial-budaya, politik, juga ekonomi. Struktur tersebut terbagi menjadi tiga, yakni kekuatan pembentuk struktur, struktur dalam (deep structure), dan struktur permukaan. Dalam pandangan Pak Kunto, tauhid adalah kekuatan pembentuk struktur yang paling dalam, bisa juga kita katakan superstruktur. Karena itu, tauhid menjadi yang paling mendasar untuk menjiwai berbagai agenda keagamaan, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Seperti halnya empat sila dalam Pancasila yang jiwanya ada pada sila pertama.

Kemudian, turunan dari tauhid itu lahir struktur dalam, yakni aspek akidah, ibadah, syariah, dan muamalah. Aspek akidah, ibadah, dan syariah bersifat immutable (tidak berubah). Sementara aspek muamalah, bisa saja berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman. Maka, transformasi Islam mesti dimaknai sebagai transformasi di ranah muamalah. Yang tentu saja dengan semangat transendensi (abstrak, metafisik, spiritual) menjadi ujung pangkal dan ruhnya. Karena semua itu berakar pada kekuatan yang membuat struktur yaitu tauhid. Prof Kunto menyebut struktur yang demikian itu sebagai strukturalisme transendental.

Dengan pemahaman keislaman yang demikian, sejatinya Islam bukan agama yang terbelakang dan tersembunyi dalam ruang-ruang mistik. Melainkan agama yang mampu menjadi kekuatan dan jiwa dari semangat perubahan dan pemajuan zaman. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apa yang mesti kita lakukan untuk membuat Islam tidak terkurung dalam kerangka pikir yang dangkal dan terbelakang? Menjadikan Islam lebih tampil ke permukaan dengan wajah yang penuh welas asih, toleran, peduli, dan mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Agenda Modernisasi Islam


Kuntowijoyo mengungkapkan “agenda baru” untuk memodernisasi agama. Modernisasi mesti dilakukan agar agama bisa sesuai dengan zaman. Untuk mencapai kemajuan itu, ada enam kesadaran yang mesti lahir dari dalam internal umat Islam sendiri. Pertama, kesadaran tentang perubahan. Hal-hal yang menyangkut dengan akidah, ibadah, dan syariah seperti disebutkan di awal tadi memang tidak akan berubah, paling hanya tafsirannya saja yang makin beragam karena persoalan ikhtilaf di antara kelompok satu dengan yang lain. Sementara itu, dalam hal muamalah yang ada kaitannya dengan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya tentu saja selalu berubah karena berkaitan dengan ilmu pengetahuan, kondisi masyarakat, dan perkembangan teknologi. Kesadaran akan perubahan itulah yang akan membawa umat Islam pada kemajuan peradaban.

Kedua, kesadaran kolektif. Kesadaran individu yang telah dimiliki oleh kita sebagai Muslim mesti juga dibarengi dengan adanya kesadaran kolektif. Yakni, kesadaran bahwa kita hidup dalam masa di mana kehidupan ini dikuasai kelompok-kelompok tertentu yang tidak hanya merugikan kaum Muslim, tapi juga umat manusia secara keseluruhan. Dengan semangat kesadaran kolektif, kita bisa kembali membangun persatuan umat dan memulai alternatif-alternatif untuk mengentaskan problem global. Pertentangan antarkelompok bukan lagi persoalan, bila semangat dan kesadaran kolektif ini telah tumbuh, semangat perlawanan terhadap penindas (zalim) juga dengan sendirinya akan terbangun.

Ketiga, kesadaran sejarah. Kesadaran bahwa kita berada dalam pusaran sejarah yang sedang dan terus berjalan. Dengan kesadaran sejarah kita bisa melihat masa lalu dengan jernih, kemudian mengambil peran dalam rangka menciptakan sejarah dengan optimisme. Keempat, kesadaran tetang fakta sosial. Islam dengan perangkat teologinya tidak hanya menghendaki perubahan pada ranah spiritual dan ritual dalam bentuk kesalehan pribadi, melainkan juga menjangkau terjadinya perubahan-perubahan di masyarakat. Upaya transformasi sosial itu menjadi agenda yang panjang dan melelahkan. Membumikan etika welas asih dan kasih sayang dalam kehidupan menjadi utopia ketika kita tak mampu membaca fakta sosial secara utuh, jernih, dan kritis.

Kelima, kesadaran tentang masyarakat abstrak. Apa yang digambarkan Kuntowijoyo sebagai masyarakat abstrak adalah sebuah sistem abstrak yang mengatur kehidupan dengan konteks masyarakat industrial. Bila kita tarik ke era digital seperti sekarang ini, hidup kita bukan hanya diatur sistem abstrak di tengah masyarakat, tapi juga ditentukan oleh masyarakat abstrak yang hadir di ruang-ruang digital. Di ruang itu tentu saja ada sistem algoritma yang mengatur dan mengarahkan kita pada sebuah realita ataupun abstrak di dunia maya. Tsunami informasi menjadikan masyarakat mudah terbawa arus. Tanpa disadari, hari ini informasi-informasi yang berlimpah itu tengah mengatur (atau mengacaukan) pola pikir masyarakat.

Terakhir, yaitu kesadaran perlunya objektivikasi. Di tengah kehidupan yang makin kaya akan keberagaman, upaya objektivikasi ini amat penting untuk dilakukan. Objektifikasi menjadi upaya untuk menjadikan nilai-nilai Islam bisa diterima oleh komunitas masyarakat yang kian beragam itu. Pada ranah inilah ijtihad perlu dilakukan habis-habisan. Guna menunjukkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin. Sehingga agama bukan menjadi bagian dari problem, tetapi menjadi solusi dan upaya kreatif menyelesaikan problem kehidupan.


*Tulisan ini pernah ditayangkan MadrasahDigital.co

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021