Langsung ke konten utama

Esai: Risalah Persatuan Indonesia


Risalah Persatuan Indonesia - Oleh Ahmad Soleh

Buku Mempersatukan Indonesia: Risalah Ikatan untuk Persatuan Bangsa yang diinisiasi Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan DPP IMM menjadi salah satu catatan penting untuk meneguhkan kembali persatuan pelbagai elemen bangsa, utamanya di tataran masysarakat. Karena bangsa yang kuat akan tercipta ketika masyarakatnya kuat dan kokoh, baik secara ideologis, budaya, maupun ekonomi. Komitmen nyata untuk menjaga persatuan, nilai-nilai Pancasila, NKRI, dan semangat gotong royong menjadi pilar penting untuk menunjang kehidupan bangsa yang maju dan beradab.

Tema “Mempersatukan Indonesia” yang diangkat dalam rakornas IMM di Pekanbaru, Riau, beberapa waktu lalu, menjadi refleksi besar bagi semua elemen bangsa, para elite, pejabat publik, stakeholder, dan kaum mudanya. Terlebih, kita baru saja usai dari hiruk pikuk pesta demokrasi yang menguras sebagian besar energi dan fokus kita. Namun, “Penghayatan dan pengamalan Pancasila rupanya mulai terkikis dari benak dan praksis kehidupan masyarakat Indonesia.” (Bayujati, halaman 68).

Risalah Persatuan


Persatuan Indonesia, salah satu sila dalam Pancasila yang merupakan fondasi ideologi bangsa Indonesia, menjadi tema penting untuk kita bahas. Perwujudan Pancasila dalam kehidupan masyarakat Indonesia salah satunya adalah dengan adanya komitmen persatuan. Persatuan akan maujud dalam semangat kebangsaan, keberagaman, dan kebersamaan dalam mewujudkan Indonesia yang bermartabat dan berkemajuan.

Persatuan, bisa dikatakan merupakan salah satu marwah kebangsaan kita. Dahulu, para pemuda dari berbagai latar belakang, etnis, suku, bahasa, dan agama berkumpul menyatakan dengan tegas bahwa kita berbangsa, bertanah air, dan menjunjung bahasa persatuan, yakni Indonesia. Kongres Pemuda II yang melahirkan sumpah pemuda menjadi tonggak kesadaran perjuangan kemerdekaan yang diinisiasi kalangan pemuda. Patut menjadi catatan penting bagi kita, sepanjang perjalanan bangsa yang kini sudah merdeka dari penjajah ini, yaitu memahami betapa pentingnya arti persatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ari Susanto menyebutkan, “Memfungsikan Pancasila sebagai ideologi berarti mengaktifkan segala kemampuan untuk mewujudkannya.” (halaman 60). Indonesia memang lahir dengan kondisi masyarakat yang pusparagam, baik suku, budaya, ras, maupun agamanya. Maka kemudian, semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dinukil dari Kitab Sutasoma menjadi semangat persatuan yang amat bermakna, tidak hanya pada tataran filosofis tapi juga praktis, bagi kehidupan bangsa. Sampai detik ini, semboyan “berbeda-beda tapi satu tujuan” menjadi spirit dan pegangan kita dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Ridha Basri memaparkan, “Di Indonesia, seluruh komunitas suku, agama, golongan, dan ras telah mencapai pada kalimatun sawa. Konsensus bersama itu mewujud dalam bentuk negara Pancasila.” (halaman 7). Semangat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika menjadi modal besar bagi Indonesia mewujudkan kemerdekaan seutuhnya, menjadi negara yang berkemajuan, makmur, adil, bermartabat, berdaulat, dan bisa berperan dalam mewujudkan ketertiban dunia. Sebagaimana cita-cita yang termaktub dalam UUD 1945.

Terbelahnya masyarakat pada kubu-kubu pilihan pada pilpres merupakan konsekuensi hajatan politik. Tidak hanya masyarakat, bahkan elite pun yang tadinya bergandengan bisa jadi berhadapan (bermusuhan) jika sudah bicara mengenai kepentingan politik. Misalnya saja pilpres 2014 yang memang menyisakan polarisasi masyarakat, hingga pilpres berikutnya hal ini masih berkelanjutan.

Perpecahan lantaran beda pilihan politik semacam ini semestinya tak perlu terjadi, seandainya kita semua menyadari dan memiliki komitmen persatuan. Kontestasi politik adalah ajang lima tahunan. Memang penting untuk memilih siapa yang memegang kekuasaan lima tahun ke depan.

Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kita menjamin persatuan tetap utuh. Dengan begitu, kita seyogianya bisa bergandengan tangan, bahu-membahu, gotong royong, dan saling bekerja sama (taawun) dalam menciptakan Indonesia yang berkemajuan, bermartabat, adil, makmur, dan sentosa.

Merajut Masa Depan Indonesia


Menciptakan kemajuan bangsa bisa kita mulai dengan menjadi pribadi yang berkualitas untuk kemudian berperan menciptakan masyarakat yang berkemajuan. Bangsa Indonesia jika ingin berkemajuan harus memiliki mentalitas kuat dengan sifat-sifat utama seperti jujur, amanah, terpercaya, disipli, tanggung jawab, mandiri, kuat pendirian, toleran, harmoni, suka bekerja sama, peduli sesama, dan mentalitas terpuji lainnya (Prof Haedar: 2018).

Buku berisi 12 judul tulisan ini menjadi risalah penting dari mata kader Muhammadiyah, kader bangsa, untuk Indonesia. Bahwa setiap pikiran anak bangsa dalam buku ini lahir dari kegelisahan dan perenungan mendalam terhadap kondisi kebangsaan. Ditilik dari berbagai sudut pandang, menghasilkan pandangan-pandangan yang jernih untuk kemajuan bangsa. Mengajak pembaca untuk kembali melek terhadap kenyataan, dengan terus mengupayakan kembali merajut masa depan Indonesia.

Modal besar yang sudah kita miliki, hendaknya bisa kita manfaatkan dengan baik dan maksimal. Peran kaum muda saat ini tidak hanya dituntut untuk sekadar menjadi pengekor generasi sebelumnya. Misi masa depan Indonesia kian terbentang di sepanjang imajinasi kaum muda, sepanjang kreativitas kaum muda itu hidup. Sepanjang semangat berkarya dan berbuat yang terbaik untuk bangsa itu tetap ada.

Modal besar itu adalah kekuatan Indonesia untuk menjemput masa depan yang lebih indah. Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI menjadi hal yang amat penting untuk dijaga. Di sana ada marwah dan martabat bangsa kita. Ode Rizki mengatakan, “Pancasila harus dimaknai secara mendalam dan dipraktikkan dalam keseharian kehidupan berbangsa dan bernegara siapa pun dia, apalagi para elite.” (halaman 55). Melalui catatan ini, kita bisa menangkap bahwa sejatinya modal besar itu tidak bisa hanya berhenti pada tataran keyakinan dan ucapan. Melainkan harus menjadi tindakan nyata.

Berbicara masa depan, artinya kita berbicara tentang bagaimana merefleksikan sejarah (masa lalu) dan mencoba menjawab dinamika hari ini. Karena zaman yang terus bergerak akan terus membawa kita pada ketidaktentuan dan ketidakpastian, seandainya kita sendiri sebagai anak bangsa tidak bisa memosisikan diri sebagai motornya. Kesadaran akan keberagaman, toleransi, kebersamaan, dan persatuan menjadi jawaban atas apa yang sedang dan akan kita alami mendatang. Masa lalu kita, menyadari perbedaan lalu bersatu. Masa kini, kita harus punya kesadaran itu untuk bisa melangkah lebih maju. Sehingga masa depan Indonesia menjadi lebih indah, cerah, dan berkemajuan sebagaimana cita-cita kita bersama.

Identitas Buku


Judul: Mempersatukan Indonesia, Risalah Ikatan untuk Persatuan Bangsa
Penulis: Tim Penulis DPP IMM
Penerbit: Semesta Ilmu, Yogyakarta
Cetakan I: Oktober 2019
Tebal: 120 halaman
ISBN: 978 602 6923 981

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Dakwah yang Menggembirakan

Dakwah yang Menggembirakan - Oleh Ahmad Soleh* “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS Ali Imran: 142). Dakwah ialah mengajak kepada kebaikan dan mencegah pada keburukan (amar makruf nahyi mungkar). Kendati, umumnya masyarakat awam memaknai dakwah hanya pada hal-hal yang bersifat surga-neraka, ukhrawi, spiritualistik, dan berkaitan dengan kesalehan individual saja. Suatu anggapan yang mungkin tidak salah, tetapi telah menggeser atau setidaknya menyempitkan makna dakwah itu sendiri. Dakwah adalah aktivitas yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Kesabaran berada pada dimensi personal seseorang. Sebab itulah rasul dan para nabi adalah mereka yang benar-benar telah dipilih oleh Allah, merekalah yang benar-benar memiliki hati yang suci, ketabahan, dan perilaku agung. Mereka adalah orang-orang agung yang lulus dalam ujian kesabaran. Sebab, tanpa memiliki kesabar

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere