Langsung ke konten utama

Esai: September Luka


September Luka - Oleh Ahmad Soleh


“Orang-orang harus dibangunkan
aku bernyanyi, menjadi saksi.”


– WS Rendra, “Kesaksian”

SEPTEMBER menjadi bulan yang begitu memprihatinkan bagi bangsa kita. Bulan ini menyimpan, mencatat, dan menjadi latar waktu terjadinya kejadian-kejadian yang memilukan berkaitan dengan kondisi kebangsaan demokrasi dan juga kondisi sosial-politik kita yang semakin kacau balau dewasa ini.

Kalau kita bicara soal kemerdekaan berpendapat, berekspresi, kebebasan menyuarakan kegelisahan, tentu September menjadi bulan yang patut kita kabungkan. Sebab, pada bulan ini, tepatnya pada 26 September 2019, dua aktivis mahasiswa bernama Immawan Randi dan Yusuf Qardhawi meninggal akibat serangan brutal aparat kepolisian.

Keduanya merupakan aktivis mahasiswa di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sulawesi Tenggara. Mereka menjadi peserta aksi menolak revisi UU KPK. Revisi UU KPK dinilai akan melemahkan peran dan fungsi KPK. Aksi tersebut merupakan respons terhadap potensi pelemahan tersebut. Demonstrasi digelar tidak hanya di Sulawesi Tenggara, tapi di berbagai daerah di Indonesia, termasuk DKI Jakarta, Yogyakarta, dan berbagai daerah lain.

Sementara itu, pemerintah melalui revisi UU KPK hendak mengontrol KPK menjadi alat pemerintah, yang tentu tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan di tubuh pemerintah itu sendiri. Terhadap kaum oligarch dan para pejabat korup. Bisa kita baca, di sana ada potensi besar tumbuh suburnya tindak korupsi.

Nyatanya, beberapa waktu pasca-UU revisi tersebut disahkan, beberapa kejanggalan muncul. Misalnya, adanya Dewan Pengawas KPK dan peralihan pegawai KPK menjadi ASN dengan tes wawasan kebangsaan (TWK) terhadap para penyidik dan pegawai KPK. TWK yang janggal tersebut berdampak pada 56 pegawai dan penyidik KPK harus dipecat karena dinyatakan tidak lolos.

Ya, mereka yang telah banyak berjasa memberantas korupsi dan menjebloskan pejabat-pejabat korup ke penjara, kini disingkirkan lewat sebuah tes ‘akal-akalan’. Sehingga, wajar bila TWK tersebut dinilai sangat politis karena tujuannya untuk menyingkirkan orang-orang yang selama ini memiliki integritas tinggi terhadap pemberantasan korupsi.

Tentu saja, korupsi dalam pandangan masyarakat kita merupakan tindakan yang jorok, tidak bermoral, dan khianat terhadap amanat rakyat. Sehingga, upaya pelemahan terhadap lembaga antirasuah tentu saja akan mengoyak batin dan nurani rakyat, yang pada akhirnya makin hilang kepercayaan terhadap negara.

Momentum Kesaksian


Bulan September menjadi waktu yang sangat memprihatinkan. Reformasi dikorupsi, banyak peristiwa menyayat hati dan melecehkan nalar. Demokrasi seolah mati, protes dilarang, demo ditembak, mengeluh dibui, membuat mural jadi buronan aparat. Lagi-lagi korbannya adalah rakyat; anak bangsa. Mereka yang menjunjung tinggi idealisme dan kebenaran menyuarakan jadi jalan-jalan dan di berbagai sudut kota.

Perjuangan mereka itu dalam momentum ini perlu kita jadikan acuan, kita refleksikan, bahwa kita harus melanjutkan perjuangan itu. Ya, kita harus menyuarakan kebenaran dan protes itu. September ataupun tidak. September, Oktober, ataupun bulan-bulan lainnya. Sebab, mereka yang korup tak kenal waktu, begitu giat bekerja menumpuk harta. Memang begitu perilaku koruptor sejak dulu.

Perjuangan itu tidak pernah dan jangan pernah berhenti. Kita harus menyuarakan kebenaran, idealisme, dan kritik itu di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu peran mahasiswa sebagai kaum elit, kelompok terpelajar, dan kaum pilihan yang memiliki peran perubahan harus menggelorakan kebenaran itu sebagai bentul kontrol sosial-politik.

Karena dengan itu semua kita bisa mewujudkan cita-cita demokrasi, cita-cita reformasi, cita-cita para founding fathers bangsa yang tinggi dan luhur. September hitam, September berdarah, September berkabung menjadi catatan bagi kita semua. Apa pun sebutannya, saya kira peran itu harus kita tunaikan sebagai anak muda yang peduli terhadap kondisi bangsa. September luka, berkabung sepanjang tahun.

Mentalitas dan Kemanusiaan


Melihat kondisi sosial-politik kita hari ini, WS Rendra dalam buku Rakyat Belum Merdeka menyebutkan bahwa bangsa ini sebenarnya belum merdeka. Para elit politik bangsa ini masih mewarisi mentalitas kolonial, mentalitas otoritarian (penindas) sisa-sisa Orla dan Orba. Mentalitas demikian begitu merasuk ke dalam partai-partai, elite politik, bahkan para aktivis mahasiswa ataupun aktivis pergerakan lain.

Rasa-rasanya, apa yang diungkapkan Rendra ada benarnya. Mentalitas semacam itulah yang terus membayangi kehidupan kita dewasa ini. Padahal, mentalitas demikian perlu kita enyahkan. Bukankah gerakan mahasiswa adalah gerakan perubahan, gerakan moral (morale force)? Silakan dijawab.

Kita semestinya menjunjung tinggi cita-cita luhur bangsa tinimbang kepentingan golongan, kelompok, partai, atau hal-hal lain yang sifatnya eksklusif. Kita harus mengubah cara pandang terhadap persoalan bangsa ini dengan sudut pandang yang lebih luas. Kita harus melebarkan pandangan kita agar bisa melihat secara lebih luas.

Bukankah Gus Dur pernah berkata, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Dan hari ini yang lebih penting dari kepentingan kelompok, kepentingan golongan, partai, atau kubu ataupun sekat-sekat yang kita buat sendiri itu adalah kemanusiaan. Karena kemanusiaan merupakan nilai universal yang mesti kita jadikan pijakan.

Dalam mengontrol kebijakan publik dan mengawal kehidupan sosial, kita harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dengan nilai itulah kita akan mampu terbebas dari belenggu golongan, partai, ataupun kelompok. Sebagai bagian dari “pelaku” perubahan itu kita harus berani memperjuangkan, menyanyikan, mengabarkan, dan memberikan kesaksian atas apa yang terjadi, atas apa yang kita hadapi, atas apa yang tengah mengusik batin dan nurani rakyat. Itulah kewajiban kita: Kaum intelektual.


*Tulisan ini pernah ditayangkan di Majalah IMM Jaktim

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021