Langsung ke konten utama

Puisi: Hanya Kosong


Hanya Kosong - Oleh Ahmad Soleh

Akar kehidupan adalah kosong
Rasa lapar dimulai dari perut kosong
Rasa kantuk tiba disebabkan energi kosong
Lalu terjaga karena sadar akan mimpi-mimpi kosong
(Tapi lupa, lalu tidur lagi di siang bolong)

Manusia bekerja karena sadar kantongnya kosong
(Gentongnya kosong, bakulnya kosong, dapurnya melompong)
Manusia menipu karena yang ia punya hanya fakta kosong
(Percaya hoaks, tapi berlaga songong)
Manusia peduli dimulai dari batin yang kosong
(Yang setiap hari sibuk memborong)
Manusia saling mencintai karena ia sadar hatinya kosong
(Ruang hampa yang sesak, tidak plong)

Manusia juga bisa saling mencaci dimulai dari etika kosong
Manusia bisa saling memakan karena sadar hidupnya kosong
Manusia bisa saling menindas hanya demi sebuah harapan kosong
Manusia bisa jadi beringas karena pikirannya kosong

Manusia bertindak karena sadar hidup tak boleh omong kosong
(Juga tak boleh terlalu banyak bengong)
Manusia mengingat Tuhan dimulai dari iman kosong
(Lalu masjid-masjid ikut kosong)
Manusia memuja Tuhan karena sadar tanpa-Nya ia hanya kosong.

2014 (puisi pernah ditulis dan dipublikasikan tahun 2014, lalu direvisi tahun 2022)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere

Puisi: Tujuh Ratus Detik

Tujuh Ratus Detik - Oleh Ahmad Soleh Media sosialmu seperti membawaku pulang ke masa dulu. Beragam kenangan yang tak bisa dibilang indah itu, memanggil-manggil lagi namaku. Nama yang mungkin tak harusnya ada di hidupmu yang sebelumnya damai-damai saja. Tujuh ratus detik berlalu. Kata-kata menguar tak memberi jalan keluar. Labirin itu membawa kita berputar. Alih-alih menyimpannya dalam buku album kenangan, sepertinya lebih baik ditanam di pekarangan. Siapa tahu bakal tumbuh jadi bunga yang bermekaran. Atau biarkan saja mati dipapar terik matahari dan kemarau musim yang panjang. Tujuh ratus detik menjadi tujuh ratus tahun yang membawa kita kembali ke dunia tanpa kata. 2021