Langsung ke konten utama

Esai: Musuh Pancasila Menurut Buya Hamka


Musuh Pancasila Menurut Buya Hamka - Oleh Ahmad Soleh

Beberapa waktu belakangan, publik kembali mendapat kejutan. Kejutan itu lahir dari mulut Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Yudian Wahyudi PhD. Sepanjang saya mengikuti, ada dua pernyataan yang kemudian dikutip banyak media massa dan berbuah kontoversi di tengah-tengah percakapan publik kita. Pertama adalah pernyataannya terkait “agama sebagai musuh terbesar Pancasila” dan yang kedua adalah “mengganti assalamualaikum dengan salam Pancasila”.

Perkara kontroversial yang pertama sudah beberapa kali Prof Yudian klarifikasi. Misalnya, dalam Dialog Jumat Republika edisi 21 Februari 2020 dalam kolom wawancara. Dalam keterangannya, Yudian kembali menegaskan bahwa sebetulnya yang dia maksud “agama” dalam pernyataan itu adalah kelompok orang atau oknum yang mengatasnamakan agama, dalam hal ini Islam, yang mencoba mempertentangkan ajaran agama dengan Pancasila. Sekali lagi “oknum” agama.

Dalam wawancara tersebut Yudian sendiri mengaku bahwa poin-poin Pancasila terdapat dalam ajaran agama-agama resmi yang ada di Indonesia, termasuk Islam. “Hubungan Pancasila dengan agama itu harus dikelola dengan baik, sehingga rahmat Negara sebesar ini jangan menjadi laknat,” ujarnya ketika memberikan pandangannya perihal hubungan Pancasila dengan agama.

Pernyataan kontoversial kedua perihal “salam Pancasila” itu berasal dari kutipan wawancara Prof Yudian dalam unggahan video Detik.com, “Blak-blakan Kepala BPIP Jihad Pertahankan NKRI”. Video itu diunggah pada 12 Februari 2020 oleh Detik.com di kanal Youtube-nya. Pada menit ke 29.00 video tersebut, ketika host-nya menanyakan tentang salam, Prof Yudian pun menjabarkan dan memberikan contoh.

Sampai muncul ungkapan, “Di dalam public service, cukup dengan kesepakatan nasional. Misalnya, salam Pancasila, umpama,” katanya. Ungkapan ini yang dikutip banyak media dengan judul kontoversial yang seolah-olah ini menjadi usulan kelembagaan. Tim CekFakta Tempo, menyimpulkan pemberitaan “mengganti assalamualaikum dengan salam Pancasila” sebagai klaim yang menyesatkan. (Untuk lebih lengkap silakan tonton kanal Youtube Detik.com sebagai sumber awal informasi tersebut).

Bagaimanapun, pernyataan kontroversial ini telah membawa kita yang sebelumnya tidak tahu dan tidak pula kenal menjadi lebih tahu siapa itu Prof Yudian Wahyudi yang menggantikan Yudi Latief sebagai kepala BPIP.

Sudahlah, terlepas dari kedua pernyataan Kepala BPIP yang kontroversial tersebut, ada baiknya kita menyimak bagaimana pandangan Buya Hamka terkait Pancasila dan agama. Lebih-lebih, pandangannya tentang siapa sebenarnya musuh Pancasila itu, sehingga kita hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian dan kekhawatiran seperti sekarang ini.

Agama Bukan Musuh Pancasila

Dalam gelaran shalat Idul Fitri tahun 1968 yang digelar di Istana Negara, Buya Hamka menjabarkan sebuah ceramah kebangsaan yang hampir mirip dengan perdebatan publik kita beberapa waktu belakangan. Dalam Dari Hati ke Hati (Pustaka Panjimas 2002), khutbah Idul Fitri itu diberi judul “Pancasila akan Hampa Tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam ceramah yang cukup panjang itu, Buya Hamka menyebutkan, “La ilaha ilallah, wahdahu; tidak ada Tuhan melainkan Allah, Dia Esa berdiri sendiri. Shadaqa wa’dahu; Yang benar segala janjinya. Wa nashara ‘abdahu; Dia-lah yang membela hambanya. Wa a’aza wahdahu; Dan Dia-lah yang memorak-porandakan partai-partai penentang-Nya sendirian.”

Sebagai saya katakan tadi, ungkap Buya Hamka, kalimat ini telah tumbuh dalam jiwa kita sebagai pusaka dari nenek moyang kita, sejak Islam masuk kemari dengan jalan damai, telah mengendap dalam jiwa kita. Ungkapan Buya Hamka ini mengungkapkan asal mula sila pertama.

Buya Hamka melanjutkan, “Oleh sebab itu, tidaklah kita heran seketika pemimpin-pemimpin kita menyusun dasar filsafat dari Negara kita ini, pusaka jiwa turun-trmueun inilah yang kita jadikan dasar pertama. Itulah Ketuhanan Yang Maha Esa.” Betul sekali, Ketuhanan Yang Maha Esa itulah perwujudan dari nilai tauhid dalam agama Islam.

Di sini, ulama dan sastrawan bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu menekankan bahwa sejatinya ajaran dan nilai-nilai agamalah yang telah memberi jiwa pada dasar Negara Pancasila. Pandangan Buya Hamka ini sama dengan pandangan Moh Hatta yang menyebutkan bahwa sila pertama sebagai dasar yang menjiwai sila-sila berikutnya. “Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pokok pangkal dari keempat sila berikutnya, Allahu Akbar!” sebutnya, yang dalam bayangan saya tervisualisasi Buya Hamka tengah mengacungkan tangannya yang mengepal.

Namun, menjadi catatan Buya Hamka adalah ketika ada pihak-pihak yang menggunakan Pancasila sebagai pemanis ucapan saat orasi dan kampanye. Buya mengingatkan agar Pancasila menjadi jiwa bagi setiap insan Indonesia dalam bertindak, tidak hanya dalam kata. Hal senada seperti yang kerap diungkapkan Buya Ahmad Syafii Maarif ketika berbicara tentang Pancasila. “Dan janganlah Pancasila itu hanya jadi buah mulut, melainkan jadikanlah dia buah hati,” pesan Hamka kepada jamaah.

Buya Hamka juga berpandangan bahwa apabila setiap Muslim mampu mengamalkan ajaran agamanya dengan baik, secara otomatis juga tengah mengamalkan Pancasila. Hal ini tergambar dalam doanya di pengujung khutbahnya: “Saya ingin menambahkannya dengan doa; Jadilah kita semua umat Muslimin ini taat beragama, dengan ketaatan beragama, dengan sendirinya Pancasila terjamuin keselamatannya. Dan orang yang mengaku dirinya Pancasila sejati, padahal tidak terang apa agama yang dipeluknya, sungguh tidaklah akan dapat mengamalkan dan mengamankan Pancasila.”

Jadi, bukan agama yang menjadi musuh Pancasila, melainkan agamalah yang menjiwai dan menghidupkan Pancasila.

Siapakah Musuh Pancasila?

Pertanyaan yang kemudian bergelayut di kepala kita adalah, apakah Pancasila punya musuh? Jika iya, siapa sebenarnya musuh Pancasila? Jika agama, agama mana yang menjadi musuh Pancasila? Dan sederet pertanyaan yang mungkin saja muncul.

Terkait pertanyaan ini, Buya Hamka memberikan gambaran ketika ada tokoh Orde Lama yang mengaku sangat Pancasilais, tapi kemudian menjadi pengkhianat dan penjahat yang merugikan rakyat dan bangsa. Dialah Dr Soebandrio dan Yusuf Muda Dalam. “Kita namai orang-orang ini Pancasilais munafik,” kata Hamka.

Apa yang membuat mereka yang mengaku Pancasilais dicap munafik? Di antaranya adalah beda antara apa yang diucapkan dan apa yang dikerjakan. Lain di mulut lain di hati, lain lagi di tindakan. Ya, Pancasila itu telah dikhianati dalam tataran perbuatan. “Menyebut Pancasila, padahal tidak lain daripada pencak silat. Merekalah yang sebenarnya menghancurleburkan Pancasila dalam tingkah laku, dalam tindak tanduk, di dalam sepak terjang hidup sepanjang hari, dengan memakai kekuasaan yang ada dalam tangan mereka,” kata Buya Hamka.

Kelima sila itu, Buya melanjutkan, dilanggar satu demi satu dengan tidak mengenal lagi hari esok, karena masing-masing percaya bahwa mereka akan berkuasa buat selamanya. Jika kita memahami pernyataan Hamka ini, bisa dikatakan Pancasilais munafik inilah yang sebenarnya menjadi musuh bagi Pancasila. Sebab, mereka yang munafik ini bisa dengan mudah bicara Pancasila dan mendaku merasa paling Pancasilais, bahkan sambil menuduh orang lain anti-Pancasila. Namun, dalam tindak dan perbuatannya tidak mampu mencerminkan nilai-nilai Pancasila.

***

Sampai di titik ini, saya beranggapan bahwa kehadiran BPIP sejatinya bukanlah untuk menjadi lembaga resmi negara yang mencoba memerangi kelompok yang ‘dianggap’ anti-Pancasila dengan cara yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila; misalnya mempertentangkan agama dan Pancasila itu sendiri. Maka, BPIP harus hadir menjadi wadah dialogis yang bisa mempertemukan ajaran dan keyakinan pemeluk agama-agama dengan semangat Pancasila. Jikapun mesti demikian, bagaimana BPIP harus mampu jua memerangi dan memberantas kaum Pancasilais munafik, sehingga bangsa kita terbebas dari rongrongan oknum jahat.

Lebih mendasar lagi, BPIP sendiri dengan segenap jajaran di dalamnya mesti mampu memberikan contoh konkret perihal bagaimana menerapkan Pancasila itu sendiri. Bagaimana bisa menempatkan spirit ajaran agama dan Pancasila dalam satu tarikan napas kebangsaan. Ini pekerjaan rumah yang mesti segera dikumpulkan.


*Esai ini pernah tayang di kanal IBTimes.ID

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Esai: Dakwah yang Menggembirakan

Dakwah yang Menggembirakan - Oleh Ahmad Soleh* “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS Ali Imran: 142). Dakwah ialah mengajak kepada kebaikan dan mencegah pada keburukan (amar makruf nahyi mungkar). Kendati, umumnya masyarakat awam memaknai dakwah hanya pada hal-hal yang bersifat surga-neraka, ukhrawi, spiritualistik, dan berkaitan dengan kesalehan individual saja. Suatu anggapan yang mungkin tidak salah, tetapi telah menggeser atau setidaknya menyempitkan makna dakwah itu sendiri. Dakwah adalah aktivitas yang membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Kesabaran berada pada dimensi personal seseorang. Sebab itulah rasul dan para nabi adalah mereka yang benar-benar telah dipilih oleh Allah, merekalah yang benar-benar memiliki hati yang suci, ketabahan, dan perilaku agung. Mereka adalah orang-orang agung yang lulus dalam ujian kesabaran. Sebab, tanpa memiliki kesabar

Esai: Buya Syafii dan Kritik buat Politisi

  Buya Syafii dan Kritik buat Politisi - Oleh Ahmad Soleh Ahmad Syafii Maarif yang karib disapa Buya Syafii merupakan tokoh Muslim progresif yang lahir di Sumpur Kudus, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935—tepat berulang tahun saat tulisan ini ditik. Buya Syafii baru saja meninggalkan kita beberapa hari yang lalu. Sungguh mulia, selain wafat pada hari baik, yakni Jumat, 27 Mei 2022, Buya Syafii juga meninggalkan jejak-jejak peninggalan semacam wasiat berharga untuk kita semua, untuk anak-anak bangsa. Bukan kata-kata motivasi, bukan barisan sajak-sajak bijak, bukan pula ungkapan-ungkapan syahdu. Bukan, bukan itu. Lebih dalam dari sekadar kata-kata, Buya Syafii memberikan kita teladan lewat laku. Ia meninggalkan begitu banyak jejak kebaikan. Kebaikan itu ialah laku agung. Laku sang begawan yang begitu sulit kita cari dari sosok manapun di negeri ini untuk saat ini. Egaliter, toleran, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, di sisi lain juga Muslim yang kaku dalam beribadah. Namun, lagi-lagi sosok

Esai: Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir

Politisasi-Komersialisasi Budaya dan Bagaimana Sastra Harus Hadir - Oleh Ahmad Soleh [1] Esai ini merupakan prolog untuk buku antologi puisi Membangkitkan Intelektual Membangun Peradaban ( Diomedia, 2021 ) TELEVISI mungkin sudah menjadi barang ‘jadul’ bagi sebagian orang di era terhubung ini. Kendati berbagai merek elektronik memperbarui teknologi televisi, mulai dari smart TV sampai televisi berbasis sistem Android yang bisa langsung terkoneksi dengan internet. Ya, kedua produk televisi terbaru itu merupakan adaptasi teknologi televisi terhadap kemajuan jaringan internet yang hari ini makin lekat dan sulit dipisahkan dari kehidupan kebudayaan manusia Indonesia. Disadari atau tidak, kemajuan teknologi memiliki dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat kita. Dengan kemajuan teknologi televisi, masyarakat “berkecukupan” dengan mudah bisa memilih dan memilah tontonan sesuai keinginan dan kebutuhannya. Tentu saja dengan televisi kabel atau jaringan televisi berlangganan. Simpelnya, mere