Agama Wayang, Wayang Agamis - Oleh Ahmad Soleh
Awalnya, saya pikir setelah video klarifikasi dan permintaan maaf Ustadz Khalid Basalamah beredar ke publik, perseteruan soal “wayang haram” sudah selesai. Namun, ternyata anggapan saya itu salah besar. Kemarin pagi, di beranda Instagram, saya melihat video pagelaran wayang yang digelar di Pondok Pesantren Ora Aji milik Gus Miftah, 18 Februari 2022. Video pendek itu pun viral lantaran tampak sesosok wayang kulit yang dinilai mirip Ustadz Khalid Basalamah sedang dihajar oleh wayang lainnya. Bahkan, sang dalang dengan penuh emosi terlihat membanting-banting wayang kulit yang lengkap dengan peci dan jenggot itu.
Tentu saja, setelahnya ramai berita soal Gus Miftah di berbagai media massa. Bahkan, di platform Twitter dan kolom komentar Instagram, konon akun Gus Miftah dibanjiri hujatan warganet. Gus Miftah pun berkilah bahwa lakon wayang itu merupakan domain sang dalang, tak ada kaitannya dengan dia. Bahkan, dia menerangkan, “kalau dimaknai pentas wayang itu merupakan reaksi atau respons dari apa yang terjadi hari ini, saya pikir kurang pas.” Sebab, menurut penuturannya, pesantren tersebut memang rutin mengadakan pagelaran wayang (Selasa, 22/2).
Saya juga ndak ngerti, warganet ini memang gampang sekali marah-marah, mengidap darah tinggi akut, kurang piknik, jempolnya gatel kalau ndak marah-marah, atau bagaimana? Tapi tenang saja, tulisan ini tidak bermaksud untuk membela Gus Miftah, Ustazd Khalid, ataupun wayang. Tulisan ini semata-mata sebagai bentuk penelaahan dan studi kasus terhadap munculnya pergesekan budaya dan agama atas apa yang tengah ramai di perbincangan kita akhir-akhir ini.
Semestinya, memang kita bisa lebih tenang menghadapi hal-hal semacam ini, tidak lalu langsung bereaksi marah, ngomel-ngomel, ngehujat, dan sebagainya. Kita mesti pelan-pelan mencerna lebih dulu, apalagi untuk memberikan reaksi dan respons terhadap persoalan ini. Kenapa mesti begitu? Saya rasa kita paham dan satu persepsi bahwa persoalan budaya dan agama adalah sesuatu yang sensitifnya bukan main bagi masyarakat kita. Banyak orang yang gampang tersinggung bila bicara soal agama, begitu juga bila menyinggung budaya masyarakat tertentu.
Indonesia dikenal sebagai negeri yang bineka, bangsa yang dibangun di atas perbedaan-perbedaan. Suku, agama, dan budaya yang beraneka ragam. Kemajemukan itu kata Bung Karno merupakan fondasi filosofis (philosophiche grondslag) bagi bangsa ini. Bahkan sebelum Indonesia berdiri sudah lebih dulu kita sadari keberagaman itu sebagai fondasi dan kekuatan bagi bangsa ini.
Anthony Reid, seorang sejarawan Asia Tenggara asal Selandia Baru, bahkan pernah mengungkapkan dirinya merasa terpukau dengan keberagaman yang ada di Indonesia, yang sudah mengakar sejak dahulu kala ini. Hal itu dapat ia lihat dari adanya dua kompleks candi Buddha dan Hindu yang berdampingan di Jawa. Dua kompleks candi itu secara historis menandakan kukuhnya kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Agama, Budaya, dan Masyarakat
Agama dan kebudayaan adalah dua hal yang sama-sama hidup dan berdampingan dalam kehidupan sosial kita. Dua-duanya sama-sama membangun peradaban di tengah masyarakat. Namun, bukan berarti agama dan budaya itu sama persis. Keduanya tentu punya akar epistemologi yang berbeda. Kendatipun dalam kehidupan sosial, bahkan politik, kita selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai yang datang dari ajaran agama dan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat.
Masyarakat, khususnya di Indonesia, hidup dalam tuntunan nilai-nilai budaya yang luhur. Hal itu perlu diakui, bagaimana budaya mampu membangun peradaban masyarakat. Tentu saja, budaya di sini perlu kita pahami tidak melulu berbentuk produk kebudayaan, seperti wayang, ondel-ondel, tari-tarian, dan sebagainya. Budaya yang begitu mengakar kuat di relung jiwa masyarakat Indonesia sebenarnya lebih kepada nilai-nilai dan norma yang hidup dan memberikan spirit dan tuntunan menjalani kehidupan sosial. Maka, melepaskan suatu budaya dari akar sejarah dan kehidupan masyarakat merupakan suatu hal yang tidak tepat untuk dilakukan.
Wayang, misalnya, selain suatu produk kebudayaan juga mampu menumbuhkan nilai-nilai tersendiri bagi masyarakat Indonesia, mulai dari bukti eksistensi budaya itu sendiri, medium penyampai dakwah atau pelajaran, rekam jejak sejarah, sampai sekadar menjadi hiburan belaka. Agama tidak selalu bertentangan dengan budaya. Bahkan, agama dengan keluhuran ajarannya mampu menginfiltrasi budaya menjadi lebih masuk akal dan dapat diterima tanpa menggugurkan keyakinan atau berakibat kemusyrikan.
Tentu saja hal itu bergantung bagaimana kita melihat, memahami, dan menilai produk kebudayaan tersebut. Penilaian, anggapan, dan pemahaman masyarakat terhadap suatu produk kebudayaan bisa saja berubah, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan dinamika dalam kebudayaan itu sendiri. Bahkan budaya itu sendiri dapat mengalami perubahan. Sebagaimana Kuntowijoyo menjelaskan, budaya juga mengalami perubahan dan perkembangan, baik secara dorongan dalam maupun dorongan dari luar. “Budaya dapat juga mengalami perubahan dengan masuknya atau hilangnya dasar-dasar ekologinya,” ujar Kuntowijoyo.
Bahkan, suatu budaya, kebudayaan, dan produk kebudayaan bisa bergeser, berubah, bahkan punah. “Kebudayaan dapat menjadi tidak fungsional jika simbol dan normanya tidak lagi didukung oleh lembaga-lembaga sosialnya,” kata Kuntowijoyo. Sebab itu, wayang sebagai produk kebudayaan juga bisa saja punah karena tidak ada yang menonton atau menikmatinya lagi. “Tanpa dimusnahkan, wayang akan musnah sendiri kalau gak ada lagi yg nonton/nanggap,” kata budayawan Sujiwo Tejo dalam Twitter @sudjiwotedjo, 15 Februari 2022.
Pementasan wayang yang tadinya begitu identik dengan ritual-ritual mistis—dan kisah-kisah mitis, berisi mitologi, ketika diinfiltrasi oleh ajaran Islam, menjadi lebih realistis. Itulah yang dilakukan para ulama yang kita sebut Wali Sanga ketika mendakwahkan ajaran Islam lewat kesenian yang populer pada masa itu. Dari sini, saya garis bawahi bahwa pergesekan budaya dengan agama, tidak memunculkan ketegangan yang berujung perpecahan atau perseteruan, melainkan memunculkan kesenian baru dengan napas baru yang tidak hanya dinikmati, tetapi juga dapat memberikan pelajaran kepada para penikmatnya.
Jadi, wayang bisa saja berubah sesuai kebutuhan masyarakatnya. Maka tak heran bila kemudian muncul rupa-rupa wayang modern. Modern dari segi bentuknya yang tidak lagi berjubah-jubah kerajaan, sampai kisah-kisah yang tidak lagi melulu bicara soal sejarah atau kisah pewayangan, melainkan juga cerita-cerita yang muncul dalam kehidupan sehari-hari kita. Nah, bentuk wayang kulit mirip Ustadz Khalid Basalamah yang muncul dalam pementasan di Ponpes Gus Miftah itu merupakan bentuk wayang kulit modern.
Fenomena kebudayaan semacam ini dalam pandangan Kuntowijoyo disebut sebagai efek dari komersialisasi budaya. Bagaimana sebuah kebudayaan atau tradisi yang muncul dengan modifikasi disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan apa yang sedang populer. Selain itu, komersialisasi juga daat tumbuh akibat adanya produksi massal. Misalnya pementasan wayang sebagai hiburan di televisi-televisi seperti yang terjadi di awal tahun 2000-an di Indonesia. Memang wayang menjadi begitu populer, tapi nilai dan norma yang terkandung dalam pementasan itu telah bergeser menjadi “sekadar hiburan” saja. Pesan-pesan yang dimunculkan pun lebih dangkal dan bersifat jangka pendek.
Membela Wayang, Membela Ustadz
Kejadian yang menimpa Ustadz Khalid Basalamah dalam fenomena “wayang haram” ini tentu memunculkan dua kubu massa. Kubu pertama adalah mereka yang membela wayang sebagai kebudayaan. Kubu kedua yaitu mereka yang tetap membela sang ustadz. Beragam alasan dan argumentasi dilontarkan untuk mempertahankan sikap masing-masing. Namun, pertanyaan yang semestinya muncul di kepala kita adalah: Apakah membela wayang sama dengan membela budaya atau kebudayaan itu sendiri? Sama halnya dengan, apakah membela seorang ustadz yang sedang ramai karena ucapannya sama dengan membela agama—membela Islam?
Nah, itu yang saya maksud di awal tulisan ini, kita jangan terlalu gurungusuh menyalahkan sikap orang lain, menyalahkan pandangan orang lain, sambil marah-marah pula. Jangan-jangan kita—yang ramai berdebat di kolom komen medsos—sedang membela sesuatu yang sebenarnya kita juga belum mengerti apa maksud, makna, dan esensinya.
Pada akhirnya, saya rasa yang kita butuhkan bukanlah soal bela membela, melainkan kembali meluruskan segala yang disalahpahami soal wayang dan kaitannya dengan ajaran agama. Budaya dan agama tidaklah bertentangan. Budaya dapat diperbarui, didinamisasi, dan diinfiltrasi oleh ajaran agama. Begitu juga agama yang dapat hidup memancarkan nilai-nilai luhurnya di tengah masyarakat tanpa membumihanguskan sebuah budaya.
Kecuali, budaya tersebut merupakan budaya yang memiliki pengaruh negatif. AH Johns mengungkapkan, kontradiksi budaya dapat timbul karena adanya kekuatan-kekuatan budaya yang bertentangan dalam masyarakat. Jadi, suatu budaya akan tertolak dengan sendirinya apabila kebudayaan tersebut bertentangan dengan norma dan nilai yang hidup dalam suatu masyarakat—bertentangan dengan kemanusiaan. Sedangkan agama, hadir memberikan pemaknaan yang lebih luas soal kemanusiaan. Maka, terjadinya pembauran atau inkulturasi antara agama dan budaya pada suatu masyarakat merupakan fenomena sosial yang wajar. Dan kita semua tengah hidup dalam fenomena sosial-kultural itu.
Bacaan:
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Bandung: Tiara Wacana.
Bernard AR, dkk. 2015. Mengelola Keragaman di Indonesia. Bandung: Mizan.
Komentar
Posting Komentar